6

1.1K 68 17
                                    

Beberapa pelayat telah pergi meninggalkan tiga orang yang kini menangis pilu di atas pusara Haikal, kepala keluarga mereka. Hanya tersisa beberapa saja yang masih setia menunggu di sana, beberapa ibu-ibu diantaranya tengah menenangkan Ambar yang nyaris saja jatuh pingsan.

Rin, gadis itu terus menangis di samping Revan yang kini tengah menabur bunga dan menyiramkan air mawar diatas gundukan tanah merah tersebut. Sesekali Rin menoleh ke arah Mamanya, dan hanya mendapatkan tatapan sinis dari wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu.

"Ma-"

"JANGAN PANGGIL SAYA MAMA! SAYA BUKAN MAMAMU! ANAK TIDAK TAHU DIRI, KAMU SUDAH MEMBUAT SUAMI SAYA MENINGGAL!" teriak Ambar dengan lantang.

"Ma," panggil Revan sembari menenangkan sang Bunda. Wanita itu menangis di pelukan Revan.

"Bu Ambar, jangan berbicara begitu. Hidup dan mati seseorang sudah ada yang menentukan." Seorang Ibu yang diketahui adalah ustadzah Fatimah mencoba menenangkan Ambar. Tapi, wanita itu justru menatap marah pada Bu Fatimah tersebut.

"Kenapa Ibu membelanya?! Kenapa Ibu membela pembunuh itu?!"

Semua orang bungkam kala Ambar bertanya dengan nada sedikit kesal pada lima orang pelayat yang masih berada di sana.

"Udah, Ma, kasihan Rin ... ayo kita pulang, Ma." Revan mencoba menenangkan Ibunya dengan mengajak wanita itu pulang. Namun, Ambar tetap pada pendiriannya, diam di tempat dan menatap marah pada Rin yang bersimpuh di bawahnya.

"KALIAN LIHAT DIA! KARENA DIA HAMIL, SUAMI SAYA TERKENA SERANGAN JANTUNG DAN AKHIRNYA MENINGGAL! DIA INI MASIH BERUSIA BELASAN TAHUN DAN SUDAH BERANI MENJADI WANITA MURAHAN! DIA HAMIL DENGAN PACARNYA!"

"MA, STOP!" bentak Revan yang membuat Ambar bungkam. Wanita itu kembali menangis terisak, "Ma, jangan kayak gini. Rin nggak salah, Ma. Revan saksinya!"

"Terus saja kamu belain dia! Sekarang kamu pilih, Mama atau Rin! Kalau kamu memilih Rin, kamu bukan anak Mama lagi!"

Revan diam mematung dengan tatapan terkejut, ia tak menyangka kalau Mamanya menyuruh dirinya memilih Ambar atau sang Adik.

Revan menyayangi keduanya, Revan ingin menjaga keduanya menggantikan sang Ayah, Revan ingin keluarganya kembali bahagia seperti dulu, jauh sebelum kejadian naas menimpa Rin.

"Ma, jangan kayak gini! Revan sayang sama Mama dan Rin, nggak mungkin Revan milih salah satu dari kalian! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Ma. Lagian Rin nggak-"

"CUKUP!" teriak Ambar memotong ucapan Revan, ia juga menutup kedua telinganya sekolah tak ingin mendengar pembelaan Revan untuk Rin, "sekarang kamu pilih, Mama atau Rin!" lanjut Ambar sembari menunjuk ke arah Rin yang masih menangis di samping pusara Ayahnya.

"Ma-"

"Revan, Mama tidak ada banyak waktu untuk mendengar bualan kalian! Cepat pilih!" Revan memandang keduanya bergantian, terdengar juga beberapa warga yang berbisik membicarakan mereka yang kini menjadi bahan tontonan.

"Revan," panggil Bu Lila yang tak lain adalah istri dari ketua RT setempat pada Revan yang tengah kebingungan, "biarin Rin sama Ibu saja, kamu jaga Ibu kamu dan bawa beliau kembali ke rumah, Ibu kamu butuh istirahat," lanjut Bu Lila memberi jalan keluar.

Revan menatap Adiknya yang kini memandangnya dengan tatapan berurai air mata, terlihat begitu rapuh dan juga kosong.

Revan mendekati gadis kecilnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hangat. Revan terisak, hatinya amat sangat sakit ketika harus meninggalkan Rin dalam kondisi yang begitu hancur seperti saat ini.

Namun, ia juga tak bisa meninggalkan Ibunya yang juga memiliki kondisi sama memprihatinkan nya seperti Rin. Sungguh, Revan berat jika harus memilih salah satu diantara mereka.

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang