Irene tengah menatap ke arah lapangan sekolahnya, ia menghela napas panjang karena melihat sosok yang sejak tadi hampir saja tak kunjung datang.
Rasti, seorang asisten rumah tangga yang telah bekerja dengan keluarganya sejak ia berusia 5 tahun. Itu berarti sudah 14 tahun Rasti bekerja dengan mereka.
"Aduh, mbak, hampir saja wali kelas Irene menghubungi Mama," ujar Irene yang terlihat lega sekali karena kehadiran Rasti di hadapannya saat ini.
Rasti terkekeh mendengarnya, "Maaf ya, Non. Ada beberapa pekerjaan yang harus di diselesaikan sebelum Tuan dan Nyonya kembali pulang ke rumah."
Irene tersenyum dan mengangguk, "Untung saja tepat waktu. Ayo, Irene antar menuju ke kelas. Pembagian raport sebentar lagi akan di mulai."
Ya, setiap pembagian raport akhir semester, Irene selalu memilih Rasti untuk menjadi walinya. Bukan berarti ia tak mencintai orang tuanya, tidak, bukan seperti itu, melainkan ia hanya tak ingin jika kedua orang tuanya mengetahui semua kepandaiannya itu melalui nilai raport yang nyaris sempurna.
Apakah ia merasa senang? Ya, tentu saja. Semua nilai itu adalah murni dari hasil kerja kerasnya sendiri. Irene adalah seorang gadis cerdas sehingga tak heran jika ia selalu mendapatkan juara kelas setiap tahunnya.
Alasan Irene lebih memilih Rasti dari pada kedua orang tuanya dalam hal ini yaitu ia hanya tak ingin jika kedua orang tuanya bersikukuh untuk mendaftarkannya ke jenjang perguruan tinggi.
Hanya itu, tentu saja.
Dengan nilai yang seperti itu tentu saja kedua orang tuanya tetap akan bersikeras menyuruhnya untuk mendaftarkan dirinya ke dalam program studi Kedokteran. Sebuah program studi yang begitu sulit sekali tentunya.
Irene hanya ingin bekerja setelah ia lulus dari sekolahnya ini. Mungkin untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi bisa ia pikirkan lagi setelah ia berhasil mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan, menjadi seorang penulis novel bergenre romantis dewasa. Hobi yang sangat ia gemari itu tentu saja selalu membuahkan hasil, namun belum banyak yang mengetahui hal tersebut. Hanya Rasti. Ya, wanita itu yang mengetahui semuanya.
"Terima kasih," Rasti lalu berjalan pergi meninggalkan kelas Irene dengan membawa sebuah raport kenaikan kelas milik gadis itu.
"Gimana, Mbak? Irene yakin kalau nilai-nilai Irene.."
"Bagus semua, Non. Bahkan wali kelas ini selalu memuji Nona Irene. Beliau meminta Mbak untuk memberikan support kepada Nona Irene mengenai pendaftaran perguruan tinggi yang akan dibuka besok," ujar Rasti kepadanya.
Irene memutar kedua matanya, "Terima kasih, tapi Mbak sudah mengetahui jelas apa yang Irene inginkan, bukan?"
Rasti terkekeh mendengarnya, "Apa Non sudah yakin dengan semua itu? Banyak orang di luar sana yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, Non. Apalagi Non Irene lahir di dalam keluarga yang sangat berada."
Irene tersenyum mendengarnya, "Yakin sekali, Mbak. Lagi pula ini pilihan Irene dan Irene yang akan menjalankannya sendiri."
Rasti tersenyum mendengarnya, ia mengetahui betul sifat gadis itu, "Mbak hanya bisa mendoakan Irene yang terbaik, ya."
"Terima kasih, Mbak. Kalau begitu kita bisa pulang, ayo," jawab Irene kemudian.
Setelah obrolan singkat itu usai, terdengar deringan ponsel milik Irene. Ia mengambilnya dan membaca nama pemanggilnya di sana.
Mama Zara is calling...
Irene lalu berjalan lebih dulu untuk menerima panggilan dari Zara, Ibunda tercintanya yang saat ini tengah berada di luar kota bersama dengan Sean, Ayahnya yang bekerja sebagai seorang direktur itu. Zara selalu mengikuti Sean ke mana pun, apalagi ia tak bekerja, karena semua itu murni keinginan dari Sean. Jika dibayangkan, tentu saja kedua orang tuanya itu memiliki rasa cinta yang begitu besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage by Design
RomanceIrene Permata Putri, seorang gadis berusia 19 tahun yang dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan masuk ke program studi Kedokteran. Hingga suatu hari, Irene tanpa sengaja melihat seorang dokter di rumah sakit...