Sudah 11 bulan ia berada di kampus itu. Ah, rasanya waktu cepat sekali berlalu. Ia bahkan tak menyangka sekali jika dirinya mampu menjalankan semua program studi yang ia dapatkan sejak menjadi seorang mahasiswa baru saat itu.
"Dor," Sandra terlihat duduk di sebelahnya. Ia membawa sebuah catatan terkait dengan mata kuliah Ilmu Kedokteran Dasar II.
"Bagaimana?" tanya Irene kemudian.
Sandra menatapnya seraya terkekeh, "Oh, tentu saja aku tak membaca semua materi itu. Rasanya begitu sulit. Mungkin memang benar, aku merasa salah jurusan di sini. Apalagi semuanya adalah sebuah keterpaksaan, percuma saja. Ah, sudahlah."
Irene terkekeh mendengarnya, sebentar lagi mereka akan menjalani sebuah ujian lisan dari sang dosen yang telah di beritahukan satu minggu lalu. Tenang saja, Irene telah mempelajari semuanya. Ia bahkan sudah memahami semuanya.
"Irene pasti akan mendapatkan nilai yang paling tinggi, itu sudah hal yang biasa," ujar Sandra seraya memeluknya gemas. Seketika itu juga mereka berdua pun tertawa.
Tak selang beberapa menit, dosen yang telah mereka tunggu sejak tadi pun akhirnya tiba. Terlihat rasa gugup dari Sandra dan juga teman-teman yang lainnya. Namun, bagi Irene, semua itu adalah hal yang wajar terjadi, ia juga terkadang merasakan hal yang sama dengan mereka semua.
"Selamat pagi, class, mari kita mulai saja ujiannya agar tidak memakan waktu yang cukup lama lagi," ujar Dokter Sam, seorang dokter muda yang cukup killer menurut mereka semua.
Dokter Sam terlihat tampan dan Irene yakin jika pria itu memiliki darah campuran dari negara lain di luar sana. Sangat terlihat jelas dari warna rambut brunette dan juga kedua mata hazel itu.
Pria itu terlihat tengah membaca daftar hadir dari seluruh mahasiswa yang saat ini tengah berkomat-kamit membaca materi perkuliahan yang sebelumnya telah diberikan.
"Irene Permata Putri," seketika Sam menatap ke arah Irene. Tentu saja ia sudah mengenal betul mahasiswinya yang satu ini. Irene yang cerdas, kritis, dan juga aktif di setiap kelas. Siapa yang tak mengenalnya?
Irene terdiam seketika. Ah, kenapa harus dirinya yang menjadi bahan uji coba di dalam ujian itu?
"Baik, Dok," jawab Irene kemudian. Ah, mau tak mau ia pun segera berjalan menuju ke depan meja yang telah di sediakan sebelumnya.
Posisi mereka kali ini yaitu duduk berhadapan dan tentu saja seperti seorang dokter dan juga seorang pasien yang tengah berkonsultasi secara privasi. Bahkan keadaan kelas seketika terdiam sunyi begitu saja.
Sungguh, Irene tak terlalu menyukai suasana seperti itu. Rasanya cukup gugup, apalagi ketika Sam menatapnya seperti itu.
"Apakah sudah siap untuk ujian kali ini?" tanya Sam kepadanya dan terlihat Irene yang tersenyum dan mengangguk, "Siap, Dok."
"Seharusnya saya tidak perlu bertanya hal seperti itu denganmu, Irene. Karena saya yakin bahwa mahasiswi sepertimu memang telah mempersiapkan semuanya dengan matang," ujar Sam seketika seraya tersenyum.
Irene merasa gugup, sungguh. Lebih baik ia diberikan 10 pertanyaan di depan kelas, dari pada harus menjawab satu pertanyaan secara berhadapan seperti ini. Ah, semoga saja ia tak melupakan semua materi yang telah ia pelajari sebelumnya. Apalagi, pria yang ada di hadapannya ini sama sekali tak bisa di tebak pergerakannya. Ia memang sangat misterius jika telah menyangkut masalah ujian seperti ini.
Pertanyaan pertama pun telah diajukan oleh Sam, dan terlihat Irene yang mampu menjawabnya secara benar dan juga ringkas, sesuai dengan pemahamannya sendiri. Ya, semua dosen akan menyukai mahasiswi sejenis Irene ini. Ia memahami betul semua materi yang telah diberikan sebelumnya.
Tidak hanya itu, bahkan tiga pertanyaan pun mampu dijawab dengan benar oleh Irene. Terlihat Sam yang tersenyum senang sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Ia lalu menyenderkan tubuhnya di kursi itu sambil menatap dan mendengarkan Irene dengan seksama.
Bahkan semua mahasiswa yang melihatnya merasa jika Sam tertarik dengan Irene. Rumor itu sempat beredar namun Irene tak pernah menanggapinya. Ia juga tak ingin memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan semua itu, percintaan atau pun pria di luar sana sama sekali tak ada di dalam kamus kehidupannya. Bahkan, Irene sama sekali tak pernah menjalin hubungan yang spesial dengan pria di luaran sana sejak dulu sampai saat ini.
"Irene setiap hari makan apa, ya?" gumam Sandra yang merasa takjub dengan temannya itu. Ia bahkan selalu meminta materi dengan Irene sekaligus memintanya untuk mengajarkan semua materi itu secara perlahan. Sandra memiliki kapasitas otak yang tak terlalu memadai tentu saja, dan tentu saja ia mengakui hal itu kepada Irene.
"Wow, luar biasa sekali, Irene. Bagaimana jika kau mengikuti pemilihan asisten dosen yang sebentar lagi akan diselenggarakan itu?" tanya Sam kepadanya.
Irene terdiam sejenak. Ia masih terlalu dini untuk menjadi seorang asisten dosen. Apalagi ilmu yang ia miliki belum seberapa.
"Tidak, Dok. Ilmu saya masih terlalu minim. Lagi pula saya masih berada di semester 2 saat ini," jawab Irene kemudian.
Sam mengangguk paham, "Baiklah, bagaimana jika membantu saya untuk mengumpulkan semua tugas mahasiswa secara kolektif? Kau juga bisa membantu untuk memeriksanya."
Irene mengangguk, "Itu berarti saya hanya akan membantu jika anda benar-benar memerlukan bantuan saya, bukan? Jika seperti itu maka saya bersedia, Dok."
Sam mengangguk, "Ya, seperti itu. Lagi pula saya cukup sibuk belakangan ini dengan beberapa operasi di rumah sakit."
Irene mengangguk paham. Setelah obrolan singkat mereka, Sam mengatakan jika gadis itu mendapatkan nilai yang sempurna. Jangan ditanya jika ia sedang berhadapan dengan Sam, maka tentu saja semua nilai Irene akan selalu aman.
"Baiklah, selanjutnya.. bersiap-siaplah," Sam terlihat membaca daftar hadir itu kembali, bersamaan dengan Irene yang bangkit berdiri dan pergi berlalu dari posisinya itu. Ia kembali dengan hati yang senang sekali. Ah, untung saja semua nya sudah berjalan lancar.
"Nilai aman," goda Sandra kepadanya.
Irene menatapnya dan membulatkan kedua matanya itu. Ah, Sandra memang sangat suka sekali untuk menggodanya.
"Dokter Sam tergila-gila kepadamu, aku yakin itu," godanya kembali.
Irene mencoba untuk menatap ke arah Sam yang saat ini rupanya tengah menatap ke arahnya juga. Refleks, Irene segera menyinggungkan seulas senyuman nya itu. Ah, rasanya aneh sekali jika Sam menatapnya seperti itu.
"Sudahlah, tidak ada yang seperti itu," ujar Irene kemudian.
Sandra lalu meletakkan buku itu dan menatap ke arah Irene dengan sangat takjub dan kagum, "Cantik, pintar, baik, menggemaskan, ah, siapa lagi kalau bukan Irene? Senggol, nih?"
Mereka berdua seketika menahan tawa ketika mendengarnya.
Irene juga merasakan hal tersebut karena Sam memperlakukannya cukup berbeda, namun sebisa mungkin ia tak terlalu mengarahkan pemikirannya ke sana. Ia tetap berpikir jika Sam seperti itu karena ia cukup aktif ketika sedang mengikuti perkuliahannya.
Bisa saja, bukan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage by Design
RomanceIrene Permata Putri, seorang gadis berusia 19 tahun yang dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan masuk ke program studi Kedokteran. Hingga suatu hari, Irene tanpa sengaja melihat seorang dokter di rumah sakit...