Irene terlihat menatap ke arah rumahnya yang berada di hadapannya saat ini. Ia sama sekali belum masuk ke dalam sana, posisinya masih setia berada di dalam mobil yang berada di luar rumahnya. Ya, terdapat satu hal yang ia pikirkan untuk saat ini.
"Kenapa perasaanku seketika menjadi tak enak seperti ini?" gumam Irene seketika.
Rasti mengatakan jika kedua orang tuanya telah tiba di rumah. Itu berarti ia kalah cepat dengan mereka kali ini.
"Baiklah, hanya masuk dan setelah itu mengendap-endap menuju ke dalam kamar. Itu lebih baik," gumam Irene seorang diri.
Ia juga berharap jika tak ada Sean di dalam rumah itu. Jika pria itu tak sibuk atau pun tengah bersantai di rumah, maka habislah sudah, ia tak bisa berkutik lagi. Irene sangat takut dengan Sean, Ayahnya itu. Walaupun pria itu tak pernah memarahinya namun tetap saja ia merasa takut sekali.
Irene merasa yakin dengan dirinya sendiri dan ia pun segera mengemudikan mobilnya itu menuju ke dalam rumahnya.
Di sana, terdapat seorang security yang telah membukakan pintu untuknya. Sebenarnya sekali, Irene tak memerlukan treat seperti itu karena rasanya terlalu berlebihan sekali. Namun, Zara memaksanya untuk tetap menikmati semua fasilitas dan juga hal-hal yang telah disediakan oleh Sean untuk mereka.
Irene masih berdiam diri untuk saat itu. Ia melihat dua mobil yang terparkir di sana, itu berarti kedua orang tuanya tak pergi ke mana pun untuk hari itu. Ah, sayang sekali.
"Jika mereka berada di rumah, itu berarti ruang keluarga, dapur, dan halaman belakang sangat berbahaya untukku," gumam Irene seorang diri. Ia lalu memutar otak agar tak melintasi batas negara yang telah ia sebutkan tadi.
Irene melihat Rasti yang saat ini tengah berjalan keluar dari rumah itu dengan peralatannya. Irene tersenyum dan setelah itu beranjak dari posisinya, ia lalu menghampiri Rasti dan berhasil membuat wanita itu menjadi terkejut karena kehadirannya.
"Astaga, Non, untung Mbak tidak punya riwayat penyakit jantung," ujar Rasti kepadanya.
Irene yang mendengarnya lantas terkekeh, "Gimana, Mbak? Apa ada berita terbaru?"
Rasti menggeleng dan menatapnya lekat, "Tidak ada, tapi mereka menunggu Nona di ruang keluarga."
Irene membulatkan kedua matanya. Ah, apa ini? Kenapa begitu dadakan sekali?
"Tapi, kenapa? Ada apa? Kenapa begitu dadakan sekali? Kenapa Papa tidak sibuk saja hari ini?" tanya Irene seketika dan hal tersebut lantas membuat Rasti terkekeh mendengarnya.
"Mereka sudah menunggu Nona sejak dua jam yang lalu. Sepertinya ada hal penting yang ingin diperbincangkan. Kebetulan sekali, Tuan dan Nyonya sedang tidak sibuk dalam satu pekan ini," jawab Rasti kemudian.
Irene lagi-lagi merasa terkejut sekali saat mendengarnya. Ah, apa ini? Kenapa dunia begitu tak adil dengannya?
Jika mereka selalu berada di rumah dan tak ada kesibukan sama sekali, tentu saja peluangnya untuk bekerja tak bisa dilakukan. Ah, bagaimana ini?
"Mbak, gimana kalau Irene balik ke hotel lagi?" gumam Irene kemudian. Namun sayang sekali karena di saat itu juga terlihat kehadiran Sean yang berjalan menuju ke arah mereka.
"Nah, ini dia anak Papa yang paling cantik, kemarilah, sayang," ujar Sean kepadanya.
Rasti terkekeh mendengarnya, "Semangat, Non. Mbak lanjut kerja dulu, ya."
Irene merasa jika suasana begitu berbeda seketika. Ia bahkan merasakan jika Sean akan bertanya banyak hal dengannya di saat itu juga.
"Hai, Papa," sapa Irene yang tak begitu bersemangat sekali. Rasanya ia ingin kembali ke dalam mobil dan menginap di hotel itu lagi untuk beberapa hari kedepan.
"Ayo, kami sudah menunggumu sejak tadi. Rasanya Papa merindukan anak semata wayang ini," ujar Sean yang merangkulnya.
Irene semakin merasakan sesuatu yang tak enak. Ah, bagaimana jika mereka tetap memaksanya? Lalu, apa yang akan ia jawab? Apakah ia harus menerima dan melaksanakan apa yang mereka inginkan itu?
Apakah ia harus merobek raportnya? Atau mungkin membakarnya saja jika diperlukan?
Terlihat Zara yang saat ini tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti. Ah, ia semakin tak menyukai kondisi seperti itu.
"Bagaimana dengan liburanmu, sayang?" tanya Zara yang mencoba untuk berbasa-basi dengannya.
"Semuanya berjalan lancar, Ma," jawab Irene seadanya. Ah, rasanya perutnya seketika merasa mulas.
"Bagus sekali. Setelah itu, kau bisa lebih fokus lagi, bukan?" tanya Zara kemudian dengan perasaan yang begitu senang sekali, begitu pula dengan Sean. Mereka berdua nampak bahagia sekali tentu saja.
Ada apa ini?
"Tentu saja," jawab Irene kembali. Perutnya kian mulas. Ah, ia membenci momen seperti itu tentu saja.
Mereka berdua lantas saling berpandangan terhadap satu sama lain dan tentu saja hal tersebut lantas membuat Irene semakin bingung dengan keadaan seperti itu.
"Well, seperti keinginan Papa sejak dulu, anak Papa yang satu ini harus melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, bukan? Apalagi masuk ke dalam program studi Kedokteran," ujar Sean kemudian.
Ah, rupanya benar sekali dugaan Irene sejak di awal. Seharusnya ia mengikuti kata hatinya saja tadi untuk tak kembali pulang di hari itu juga.
"Ya, Irene ingat itu," jawab Irene kemudian. Ah, rasanya ia seperti berada di dalam sebuah kekangan penjajah.
"Jadi.." Sean lalu menatap ke arah Zara, terlihat wanita berparas cantik itu terkekeh saat mendapatkan tatapan penuh arti dari Sean.
"Papa saja yang menjelaskan semuanya, Mama rasanya ingin tertawa terus jika mencoba untuk menjelaskannya," ujar Zara kemudian.
"Hm, baiklah, biar Papa yang menjelaskan semuanya sekarang," lanjut Sean kemudian.
Irene semakin tak enak hati saja setelah mendengar semua itu. Bahkan rasanya ia ingin memuntahkan isi perutnya itu di saat yang bersamaan.
"Jadi, kami sudah memutuskan untuk mendaftarkanmu ke dalam program studi Kedokteran pagi tadi. Semua data dan juga nilai-nilaimu selama ini sudah Papa dapatkan melalui wali kelasmu. Semuanya sudah berjalan lancar dan.. selamat, kau telah diterima di dalam program studi kedokteran itu. Ya, walaupun kampus itu adalah milik rekan kerja Papa, namun melihat nilai-nilaimu yang begitu sempurna, tentu saja tak akan menjadi masalah. Seprti janji kami, jika kau masuk ke perguruan tinggi maka sejak awal pendaftaran hingga akhir pendidikanmu, kami akan mengurus semuanya. Kau hanya perlu mengatakannya saja," jelas Sean kemudian.
Penjelasan yang begitu panjang lebar itu lantas membuat Irene melongo mendengarnya.
Apa ini? Kenapa kedua orang tuanya mengambil tindakan begitu saja tanpa perlu bertanya dengannya terlebih dahulu?
"T-tapi, Pa, kenapa kalian tidak membicarakan semua ini denganku terlebih dahulu?" tanya Irene terkejut. Ia tak heran dengan semua itu karena Sean bisa saja mendaftarkan dirinya di mana pun, hanya saja ia merasa heran karena tak ada pemberitahuan sebelumnya terkait hal tersebut.
"Tidak bisa, sayang. Jika kami mengatakannya lebih dulu kepadamu, maka kau pasti akan menolaknya mentah-mentah. Jadi, kami memutuskan untuk mendaftarkanmu secara diam-diam. Nilaimu sungguh luar biasa, sayang, kami bangga sekali," jawab Zara mewakili.
Saat ini rasanya Irene sangat ingin sekali menggigit bantal sofa yang berada di sampingnya itu.
Ahhhhh, ia sudah tak bisa berkutik lagi sekarang. Semuanya tak sesuai dengan apa yang ia harapkan selama ini.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/290323773-288-k75243.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage by Design
RomanceIrene Permata Putri, seorang gadis berusia 19 tahun yang dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan masuk ke program studi Kedokteran. Hingga suatu hari, Irene tanpa sengaja melihat seorang dokter di rumah sakit...