Irene merasa jika seseorang tengah membangunkannya dari tidur siang yang telah ia lakukan sejak tadi.
"Non, non.."
Irene mencoba untuk membuka kedua matanya secara perlahan ketika ia melihat bahwa Rasti tengah berada di kamarnya itu dan mencoba untuk membangunkan dirinya saat ini.
"Ada apa, Mbak?" tanya Irene seraya mencoba mengumpulkan seluruh nyawanya.
"I-tu, ada yang datang. Katanya penting," jawab Rasti kemudian.
Irene yang sejauh ini masih sangat malas untuk bangkit dari posisinya itu, lantas tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh sang asisten rumah tangga mereka.
"Ayo, Non. Katanya sangat penting sekali," ujar Rasti sekali lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan kamar Irene.
Baiklah, dengan berpenampilan apa adanya, ia pun mencoba untuk bangkir berdiri dan berjalan menuju ke arah lantai bawah. Bahkan ia belum melihat penampilannya sejauh ini.
Sejauh ini, Irene tak menemukan siapa pun di ruang tamu, ia pun menghela napas panjang dan setelah itu pergi ke arah dapur untuk menemui Rasti.
"Mbak, mana tamunya? Kenapa di ruang tamu-"
Ucapan Irene terhenti seketika saat melihat sosok yang bahkan tak ia duga sekali. Pria itu sedang berada di dapur bersama dengan Rasti yang saat ini hendak membawakan segelas minuman kepadanya.
"Ah, ini dia. Ayo ikut aku," ujar David sambil berdiri dan berjalan pergi.
Irene yang sejak tadi merasa lemas akibat seluruh nyawanya belum terkumpul secara merata, tiba-tiba saja merasa jika seluruh nyawanya telah berada di dalam tubuhnya saat ini.
"Mbak, kenapa dia bisa ada di rumah ini? Kenapa dia dapur?" pekik Irene dengan sangat panik dan terkejut.
"Duh, Mbak juga kurang tahu, Non. Tiba-tiba ada tamu yang datang. Saat Mbak berjalan ke depan, tiba-tiba aja tamu itu sudah berada di depan pintu dapur. Dia juga menanyakan keberadaan Non," jawab Rasti kemudian.
Irene menghela napas panjang. Bisa-bisanya ia mendapatkan tamu dadakan di hari yang sama, "Ya sudah, Irene ke ruang tamu. Minumannya tidak perlu di bawa. Biarkan saja di sini."
Rasti yang merasa bingung dan canggung pun lantas terkekeh, "Tapi ganteng, sih."
Untuk saat ini, nampak David yang tengah menatap ke arahnya. Pria itu selalu terlihat seperti ingin menerkamnya.
"Bagaimana bisa kau mengetahui alamat rumahku ini?" tanya Irene kemudian sambil berdiri di hadapan pria itu.
David menatap perempuan tersebut dari atas hingga bawah. Entah mengapa ia cukup terlena dengan pemandangan kali ini, "Kau bisa duduk terlebih dahulu. Jangan sampai kau menghipnotisku dengan daster yang tengah kau gunakan saat ini."
Irene mencoba untuk tetap sabar. Rupanya pria ini sangat nakal. Setelah memilih untuk duduk dan menyembunyikan tubuhnya dengan sebuah bantal sofa, ia pun kembali menanyakan hal yang sama kepada pria itu, "Baiklah, aku ulangi sekali lagi, bagaimana bisa kau mengetahui alamat rumahku ini?"
"Mudah saja, dan menurutku itu tak penting untuk di bahas dalam pertemuan kita ini, karena aku ingin menyampaikan sebuah protes kepadamu," jawab David kemudian.
Rasti pun datang sembari membawa minuman yang telah di pesan oleh David sebelumnya. Nampak pria itu yang tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Tentu saja Rasti merasa terbang ke atas langit setelah mendapatkan perlakuan seperti itu dari David.
"Lalu, apa yang ingin kau sampaikan itu? Aku rasa kita tak memiliki permasalahan apa pun," tanya Irene kemudian yang begitu tak sabar sekali. Ia sangat ingin jika pria yang satu ini cepat pergi dari rumahnya itu.
David nampak mengambil ponsel miliknya dan setelah itu menunjukkan sebuah room chat kepada perempuan itu, "Apakah kau terlalu sibuk sampai tak menerima panggilanku sejak tadi?"
Irene yang mencoba untuk melihat dan mengingatnya pun seketika terdiam sejenak. Ia teringat akan sesuatu sekarang. Apalagi ketika melihat nomor belakang milik David yang sama persis dengan nomor yang telah menghubunginya tadi.
"Ah, jadi kau yang telah menghubungiku sejak tadi. Pantas saja aku merasa asing dengan nomor itu. Maaf, aku tak ingin menerima sebuah panggilan dari nomor yang tak di kenal," jawab Irene kemudian.
David terlihat tersenyum sinis, "Aku juga tak peduli dan tak ingin mengetahuinya. Pada intinya, kau harus menyimpan nomor ponselku. Satu lagi, kedatanganku di sini juga ingin menyampaikan sesuatu jika kau dan aku harus datang ke acara pernikahan Dokter Reza."
"Ya, aku memang akan datang bersama dengan-"
"Denganku. Kau akan datang bersama denganku ke acara itu. Mengerti?" potong David kemudian seraya menyesap minuman itu sejenak sebelum ia bangkit berdiri.
"Tunggu, mengapa aku harus pergi bersamamu? Kenapa kau memaksaku?" pekik Irene yang tak menerima soal itu.
"Apakah kau tak pernah bermain sebuah peran dalam suatu hubungan? Mainkanlah peran itu selagi berada di depan orang tua kita," jawab David kemudian, dan hal tersebut lantas membuat Irene terdiam sambil membiarkan pria itu pergi berlalu.
***
Irene masih terpaku untuk saat ini. Setelah kedatangan David ke rumahnya, ia masih tak bisa memikirkan hal lain selain perkataan dari pria itu.
"Memainkan sebuah peran?" gumam Irene kemudian.
Ia memahami perkataan David, hanya saja ini adalah kali pertama untuk dirinya memainkan peran yang pria itu maksud.
"Aku bahkan tak pernah sama sekali berpura-pura menjalin sebuah hubungan dengan siapa pun. Tapi, mengapa ia dengan mudahnya untuk menyuruhku seperti itu?" gumam Irene kemudian.
Tok! Tok!
Irene yang sejak tadi duduk di hadapan meja belajarnya itu lantas menoleh, "Masuk saja, aku tak mengunci pintunya."
Terlihat Zara yang membuka pintu kamarnya itu dan berjalan memasuki kamar sang putri semata wayangnya, "Apakah kau sedang sibuk?"
"Tidak juga, aku baru saja menyelesaikan tugas perkuliahanku. Ada apa, Ma?" tanya Irene kemudian yang memutar kursinya itu.
"Mama dengar dari Mbak Rasti kalau katanya kita sempat kedatangan seorang tamu," goda Zara kemudian, dan kali ini Irene mengetahui topik dari sang Ibu.
"David," jawab Irene kemudian.
"Wow, sepertinya kalian berdua sudah semakin dekat sekali. Bahkan, kau juga mulai mengingat namanya. Ngomong-ngomong, ada apa? Mengapa ia sampai datang secara dadakan?" tanya Zara yang merasa begitu penasaran.
Baiklah, ini merupakan sebuah pertanyaan yang cukup membuat Irene merasa bingung. Bahkan ia sedikit bimbang untuk menjawabnya.
"Orang tuaku ini merupakan tipikal yang sangat jeli terhadap sesuatu hal. Mereka bahkan telah mengetahui sebuah sesuatu lebih dahulu dan memilih pura-pura untuk bertanya demi memastikan semuanya," gumam Irene seorang diri. Entah mengapa ia memiliki satu pemikiran kali ini.
"Kami hanya membicarakan mengenai sebuah undangan pernikahan dari dosenku, yang tentu saja merupakan teman dari David juga. Jadi, kami akan datang bersama-sama ke acara itu nantinya," jawab Irene dengan seulas senyuman manisnya.
Mendengar hal tersebut lantas membuat Zara membulat lebar, "Oh, wow. Rupanya apa yang kami pikirkan terjadi juga. Baiklah, persiapkan semuanya, sayang. Jika kau memerlukan sesuatu untuk ke acara itu, jangan sungkan untuk meminta bantuan kepada siapa pun yang berada di rumah ini. Oke?"
Setelah mengatakan hal tersebut, Zara lalu melesat pergi, bahkan dengan ekspresi yang begitu senang sekali kelihatannya.
Irene lantas menutup pintu kamarnya itu dan mulai menghela napas panjang, "Baiklah, aku paham sekarang tentang."
"Tapi, aku tak bisa seperti ini untuk waktu yang berkepanjangan. Ini akan menyulitkanku," gumam Irene yang nampak bingung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage by Design
RomanceIrene Permata Putri, seorang gadis berusia 19 tahun yang dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan masuk ke program studi Kedokteran. Hingga suatu hari, Irene tanpa sengaja melihat seorang dokter di rumah sakit...