"Hati-hati, Mas!"
Motor matic warna putih itu perlahan menjauh dan lenyap dari pandangan. Jeno berangkat ke sekolah SMPnya dulu, legalisasi ijazah dan SHUN untuk keperluan SNMPTN. Dulu Jeno dan Jaemin satu SMP, tetapi Jaemin tidak perlu melegalisasi berkasnya karena ia tak berniat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jaemin sedih, tentu. Dia pintar dan memiliki cita-cita besar, menjadi dokter. Namun, ia tidak boleh kecewa. Menjadi Ibu, bukankah itu pekerjaan yang sangat keren?
"Akh!" erang Jaemin.
Jarak kontraksi makin lama makin pendek. Jaemin telah merasakan itu dari pagi tadi.
"Dedek tunggu Papa dulu, ya, baru kamu keluar."
Jaemin berjalan dengan sangat hati-hati masuk ke dalam rumah lalu mendudukkan diri di sofa. Ia kembali larut dalam buku biloginya.
Sementara itu di tempat lain, Jeno tengah menunggu berkasnya dilegalisasi. Hari itu banyak alumni yang datang dengan tujuan sama jadi harus antri. Jeno duduk di bawah pohon jambu dekat masjid, tempat favoritnya dulu. Tempat ini selalu selalu sepi dulunya karena terletak di gedung sekolah bagian belakang.
Jeno asyik merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, hingga suara seorang gadis menginterupsi.
"Hai, Jen. Gue boleh duduk di sana, gak?" tanya gadis itu sambil menunjuk tempat tempat kosong di sebelah Jeno.
"Boleh, Chan. Tapi jaga jarak. Corona masih ada."
Gadis yang dipanggil "Chan" tersenyum di balik maskernya lalu duduk di sebelah Jeno dengan jarak satu setengah hasta.
Hening hingga gadis "Chan" membuka suara.
"Harusnya lo tuh jodoh gue, Jen," ujar gadis itu tanpa menoleh sedikitpun.
"Maksud?"
"Harusnya gue yang nikah sama lo, someday. Tapi jalang itu tega ngerampas lo dari seorang Seo Haechan," Haechan menatap Jeno lamat-lamat.
"Nana bukan jalang," balas Jeno dingin.
Haechan dan Jeno sudah berteman sejak kecil, bahkan sebelum mereka lahir. Taeyong dan Ten, Ibu Haechan, adalah sepasang sahabat. Mereka bahkan berjanji akan menjodohkan Jeno dan Haechan, tetapi janji itu harus dilanggar karena suatu tragedi.
"Trus apa? Padahal panggilan itu sudah cukup bagus dan cocok buat dia."
Haechan sudah muak. Ia berteman baik dengan Jaemin dulu sebelum gadis kelahiran Agustus itu menjalin hubungan asmara dengan Jeno. Haechan merasa bodoh, mengapa dulu ia memperkenalkan Jeno ke Jaemin.
"Kalo Nana gak hadir di antara kita, pasti kita akan jadi pasangan suami istri di kemudian hari," ujar Haechan, "Gue cinta banget sama lo, Jeno."
Jeno terkejut ketika Haechan tiba-tiba mendekatinya. Bermodal nekat, Haechan memajukan wajahnya dan bibir mereka berdua bertubrukan. Namun, tak bisa dibilang berciuman karena keberadaan masker.
Jeno segera sadar lalu mendorong tubuh Haechan. Ia berdiri dari duduknya tanpa kata lalu berniat pergi dari tempat tersebut. Sebelum benar-benar pergi Haechan kembali bersuara.
"Mama pengen bilang terima kasih. Karena logo yang lo buat, Toko Roti Mama makin ramai."
Tanpa membalas, Jeno berjalan menjauh dari area yang sudah menjadi area terlarang itu. Lebih baik Jeno menunggu di depan ruang TU walau agak padat karena dipenuhi para alumni.
Setelah selesai menerima berkasnya yang sudah dilegalisasi, sebuah panggilan masuk membuat ponsel Jeno berdering. Doyoung, salah satu tetangga mereka yang tidak pernah "julid" kepada Jeno dan Jaemin, bisa dibilang tetangga yang baik hati.
"Assalamu'alaikum, Tante."
"Wa'alaikumussalam, Jeno. Kamu di mana?" suara Doyoung terdengar panik.
"Di SMP, legalisasi Ijazah sama SHUN."
"Tolong segera ke Rumah Sakit Surya. Jaemin lahiran."
---
Jeno memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Hari ini seperti hari keberuntungan Jeno, tiap lampu lalu lintas yang ia temui selalu menyala hijau.
"Ya Allah selamatkan Anak dan istriku."
Jeno berlari tergopoh-gopoh hingga ia berhenti tepat di depan Doyoung dan suaminya Taeil.
"Apa Nana udah lama di dalem?" tanya Jeno setelah menetralkan napasnya. Pandangannya tertuju pada pintu ruang bersalin.
"Sekitar lima belas menit yang lalu," jawab Doyong sambil menyodorkan botol air mineral, "Minum dulu, Jen."
Jeno duduk di kursi tunggu, di sebelah Taeil, lalu meminum air mineral pemberian Doyoung.
Tubuh berbalut seragam SMA tak henti-hentinya memproduksi keringat. Jeno khawatir dan takut, takut kehilangan salah satunya atau kemungkinan paling parah kehilangan dua-duanya.
"Tenang, Jeno. Jaemin dan anak kalian pasti selamat," kata Taeil menyemangati.
Jeno tak henti-hentinya melantunkan doa. Memohon keselamatan kepada sang pencipta.
Hampir satu jam mereka menunggu di kursi tunggu. Doyoung maupun Taeil juga sama khawatirnya. Melahirkan di usia muda sangat riskan. Namun, mereka hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Hingga suara tangis bayi terdengar kencang membuat ketiga orang itu melepas wajah tegang mereka.
"Selamat Jeno, kamu sudah jadi orang tua," kata Taeil sambil memegang pundak Jeno.
---
Jeno tak henti-hentinya mengucap beribu syukur. Jaemin dan anak laki-lakinya selamat. Bayi mungil itu seperti kopian sempurna dari sang Papa.
"Bener-bener Jeno 2.0," celetuk Jaemin.
Jisung, nama bayi tersebut, berada di dekapan hangat sang Ibunda. Tatapannya seakan tak mau lepas dari wajah Ayu Jaemin.
"Kenapa liatin wajah Mama terus. Mama cantik, ya?" tanya Jaemin jenaka.
"Iya Mama cantik makanya Papa sayang," balas Jeno tak kalah jenaka.
"Oh, kalo aku jelek Mas gak sayang, gitu?" Jaemin menatap Jeno sengit.
"Tetep sayang kok. Jangan khawatir, Jung Jaemin akan selalu menjadi rumah bagi Jung Jeno."
END
Tapi boong, coz masih ada 2 chapters lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
2gether | Nomin [END]
FanfictionMenjadi orang tua di usia muda bukan keinginan Jeno dan Jaemin. Karena kesalahan yang mereka perbuat, mau tak mau mereka harus mempertanggungjawabkannya. Nomin GS!