Terlambat

146 9 0
                                    


Mengawali hari baru, pagi itu masyarakat kota Bandung disambut dengan cuaca yang lumayan sejuk. Langitnya sedikit mendung dan berawan. Meskipun demikian, nyatanya cuaca hari itu tidak lantas membuat baju seragam anak laki-laki yang satu ini tetap kering. 

Tubuhnya dibanjiri keringat yang berhasil membasahi sebagian seragam putihnya. Warna kulit tubuhnya yang biasanya terlihat putih pucat, kini berubah merah padam. Ia membungkuk di depan gerbang dengan nafas tersengal. 

Sesekali ia membetulkan posisi tas punggung hitamnya yang melorot, lalu berusaha untuk menyeimbangkan posisinya. Seragam putihnya kini terlihat sudah sangat lembap. Ia baru saja berlari sekuat tenaga untuk menuju gerbang karena terlambat datang ke sekolah.

 Ia baru saja berlari sekuat tenaga untuk menuju gerbang karena terlambat datang ke sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anjay... nyampe... juga..." ucap Anjana tersengal, tepat di depan pintu gerbang sekolah. Ia melihat ke sekeliling lalu berusaha menggedor pintu gerbang yang sudah tertutup rapat.

"Yeuuh... Si Sule mah aya-aya wae. Naha ai ujang teh teu boga jam kitu? Asa kabeurangan wae pagawean teh! (Si Sule ada-ada aja. Emangnya kamu gak punya jam ya? Kerjaannya perasaan kesiangan mulu deh!)" kata Pak Turangga, petugas sekuriti sekolah.

Pak Tura— begitulah ia kerap kali disapa, memanggil Anjana dengan sebutan Sule yang berarti Sunda Bule karena Anjana adalah anak blasteran Sunda dan Australia. Pak Tura kemudian membuka kunci gembok, menggeser pintu gerbang lalu mempersilahkan anak yang masih ngos-ngosan itu masuk.

"Nuhun, Pak!" Anjana mengucapkan terima kasih pada Pak Tura seraya tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang menggemaskan.

"Ehh, tong waka kabur! Ngisi buku heula! (jangan dulu kabur! Isi buku dulu!)" kata Pak Tura sambil meminta Anjana untuk sama-sama masuk ke dalam pos.

"Maaf, hehehe. Lagi buru-buru, Pak. Takut Bu Aruna udah dateng ke kelas." jelas Anjana. Ia kemudian menuliskan nama lengkap, nomor induk siswa, kelas, dan paraf di buku tebal yang berada di meja Pak Tura.

"Engke formulirna candak di tempat biasa nya, Le! (Nanti formulirnya ambil di tempat biasa ya, Le!)" pinta Pak Tura singkat.

Anjana mengangguk pelan kemudian meneruskan kegiatan berlarinya sampai ia tiba di depan kelasnya, X-1. Pintu kelasnya sudah sedikit terbuka, lalu dengan berhati-hati ia mengintip keadaan di dalam kelas. Beruntung Bu Aruna— guru Fisika, belum datang. Dengan cepat ia membuka pintu dan seketika itu juga seisi kelas menoleh ke arahnya. Tak lama kemudian, ia disambut dengan sorak-sorai "huuuu" dari teman-temannya karena mereka mengira yang datang itu adalah Bu Aruna.

Anjana menebar senyum manisnya ke seisi kelas kemudian terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lesung pipinya kembali muncul. Anjana lalu menutup pintu kelas dan bergegas menuju bangkunya di deretan paling pojok ruangan. 

Anjana duduk di barisan terakhir, sisi sebelah kiri, berdempetan dengan tembok, dan dekat dengan jendela kaca yang sudah terbuka lebar. Angin pagi hari itu terasa benar-benar menyejukkan. Beruntung sekali tempat duduknya berdekatan dengan jendela sehingga memudahkan angin segar untuk masuk ke dalam pori-pori kulitnya dan membantu membuat tubuh dan seragamnya menjadi kering.

"Hobi itu ya kayak nyanyi, baca komik, maen bola, gitu-gitu. Telat kok dijadiin hobi sih, Jan?" celetuk teman sebangkunya, Kayas.

"Anti mainstream gue mah." Anjana menjawab singkat sambil sibuk mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas punggung hitamnya.

🍭

Angin pagi yang sejuk berhembus dan menyusupi hampir ke setiap sudut SMA Nusaindah yang kini tampak begitu tenang. Para penghuninya sudah berada di dalam kelas dan larut dengan kesibukan masing-masing. 

Suasana di kelas X-3 tak jauh berbeda, tampak tenang. Pagi itu, anak-anak tengah fokus mendapatkan pelajaran Biologi mengenai klasifikasi hewan vertebrata dari Bu Nila. Dari dalam kelas, hanya terdengar suara Bu Nila yang sedang menjelaskan materi. Tak lama, anak-anak X-3 diberikan tugas. Kini, Bu Nila berkeliling untuk mengawasi anak-anak yang sedang mengerjakan soal tentang materi yang sudah diberikan.

Bel waktu istirahat pagi baru akan berbunyi sekitar tiga puluh menit lagi, tapi perut dari lelaki pemilik mata sipit ini sudah tak sabaran. Matanya yang dinilai orang-orang mirip dengan mata seekor rubah gurun itu ia pejamkan seraya menahan sakit di perutnya. Pagi itu, ia tidak sempat sarapan. Selama mengikuti pelajaran Bu Nila, perutnya terus menuntut untuk diberi asupan.

"Ijas, brownies masih ada gak?" tanya Kinan, berbisik pada teman sebangkunya.

"Kayaknya sisa satu potong lagi deh. Emang kenapa?" Ijas balas berbisik sembari terus menggerakan tangannya di atas buku tugas.

"Aku belum sarapan, Jas. Tadi karena takut telat, jadi perginya buru-buru. Aku minta— eh beli aja deh browniesnya. Gak apa-apa, 'kan?"

"Jangan sekarang, Ki! Bu Nila masih ada di kelas nih. Istirahat kan bentar lagi, nanti—"

"Tapi perutku udah gak tahan, Jas."

"Hhhh," Ijas menggerutu, kesal pada temannya yang masih merengek untuk memberinya brownies. Akhirnya, dengan terpaksa Ijas merogoh kolong mejanya dengan hati-hati. Berusaha membuka tutup wadah yang di dalamnya tersimpan rapi brownies buatannya.

Ijas berhasil mengeluarkan potongan terakhir brownies miliknya dan segera menyerahkannya pada Kinan. Belum sempat Kinan menerima benda penyelamat perutnya itu, suara deheman seseorang terdengar dari arah belakang.

"Lagi ngapain? Kalian kan tau kalo lagi jam pelajaran gak boleh makan di kelas. Gak boleh jualan juga. Ijas! Kinan!" Tanpa sepengetahuan mereka, Bu Nila sudah berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Eng-enggak, Bu. Ini... tadi... bukan jualan—"

"Udah ah, banyak alasan. Kalian berdua detensi ya! Nanti ambil formulirnya di ruang konseling."

Mampus!

🍭


Warnapedia

Anjana—Jawa; hitam.

Turangga; krem pastel.

Aruna—Sanskerta; sinar kemerahan. 

Nila; warna antara biru dan lembayung.

Ijas; dark purple atau ungu tua.

KATUMBIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang