Sedia Payung Sebelum Ujian

144 6 3
                                    

Pagi itu, Genta masih berada di dalam angkot saat awan mendung yang mengungkung kota Bandung tiba-tiba saja menumpahkan bebannya. Hujan deras turun seketika. Jangankan payung, jaket pun tak pernah ia bawa. Bibir tebalnya seketika mengerucut sebab ia tak pernah sekali pun menyukai hujan.

Sebenarnya, Genta bisa saja pergi ke sekolah-atau ke mana saja-dengan menggunakan mobil pemberian orang tuanya yang sudah lama menganggur di garasi rumah. Tapi nyatanya, ia selalu memilih untuk bepergian dengan angkutan umum. Baginya, berada di keramaian dan sesekali melihat berbagai aksi dan reaksi dari orang-orang sekitar mampu membuat dirinya hangat.

 Baginya, berada di keramaian dan sesekali melihat berbagai aksi dan reaksi dari orang-orang sekitar mampu membuat dirinya hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selagi menatap kaca jendela belakang yang mulai berembun, anak lelaki jangkung itu menghela napas. Tak lama, netranya menebar pandang ke sekitar. Angkot yang ditumpanginya penuh sesak. Anak sekolah, pegawai kantoran, sampai pedagang yang baru saja pulang dari pasar memenuhi tiap sudut kursi penumpang. Genta melirik layar ponsel; waktu masih menunjukkan pukul 06.20 pagi dan jarak tempuh menuju halte hanya tinggal beberapa meter lagi.

"Kiri, Pak!"

Angkot yang ditumpangi Genta menepi. Ia turun lalu berlari kencang mencari tempat berteduh. Lima belas menit berlalu dan Genta tak punya banyak waktu. Sedari tadi, tak satu pun orang yang ia kenal melewati halte tempat ia berteduh. Genta masih harus menempuh jarak 229 meter untuk sampai ke SMA Nusaindah. Akhirnya, dengan terpaksa ia memutuskan untuk berlari sekuat tenaga tanpa mempedulikan baju dan tasnya yang akan basah kuyup terkena guyuran air hujan.

"MAGENTA!"

Suara teriakan seseorang berhasil menghentikan langkah kakinya. Genta menoleh cepat dan melihat ada Ory di sana. Anak perempuan itu baru saja turun dari angkot dan kini tengah berusaha membuka payung berwarna merah jambu. Tanpa pikir panjang, Genta berbalik dan berlari menuju Ory.

"Ivory, Ivory. Untung ada kamu. Gue nebeng ya?"

"Udah deh. Stop manggil aku Ivory. Aneh, tau!"

"Kan kamu duluan yang manggil Magenta, gimana sih?"

"Iya juga sih, hahaha..." tawa Ory renyah. "Ya udah, yuk? Kasian kamu udah basah kuyup begitu. Nanti masuk angin loh!"

Genta mengangguk. Ia lalu berinisiatif meraih gagang payung sebab tubuhnya yang menjulang akan membuat tangan Ory pegal.

"Sini, biar gue aja yang pegang."

"O-oh, iya." balas Ory, sedikit tergagap sebab tangan keduanya sempat bersentuhan.

Mereka lalu berjalan di bawah payung yang sama menuju sekolah. Selama perjalanan, Genta lebih banyak diam. Suara ribut air hujan yang menerpa payung Ory seolah berusaha memecah kesunyian. Ory lalu berinisiatif untuk membuka obrolan.

"Gak kerasa ya, Ta, Rabu depan udah hari terakhir masuk sekolah. Perasaan baru kemaren masuk Nusa, terus UTS, eh sekarang udah mau UAS aja." kata Ory sambil sesekali memperbaiki posisi tote bag hitam dengan gambar kucing di bagian tengahnya.

KATUMBIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang