Racauan Tiga Bocah

114 7 2
                                    

"Ngomong-ngomong, rencana kita buat balikin esmus itu jadinya gimana sih? Perasaan udah gak ada kabar lagi deh dari Kang Amar." Kayas membuka topik rapat sore itu.

"Eh, bentar. Esmus apaan dah?" tanya Marun sambil memangku toples keripik pisang. Ia sudah menghabiskan sebagian isinya. Marun lalu mengambil satu lembar tisu dan membersihkan sisa-sisa bumbu di jari tangan.

"Ekskul musik." jawab Anjana dan Kayas kompak.

"Kenapa disingkat seenak jidat sih?" protes Marun. Si Kulit Pucat dan Si Pipi Bulat menatapnya datar. Marun tersenyum pasrah. "I-iya deh, iya... esmus. Terus, Kang Amar ini siapa?" tanyanya lagi. Kini tangan Marun beralih menuju toples kue nastar.

"Kang Amarillo kelas XI IPA 4, yang waktu itu pernah gue ceritain. Dia yang awalnya buka wacana buat ngebuka lagi esmus ini." balas Anjana. Marun hanya mengangguk. Ia terlalu sibuk mengunyah kue nastar di dalam mulut.

"Menurut kalian, kita harus ngelakuin sesuatu gak sih? Kalo kita gak gerak, semua ini bakalan jadi wacana doang!" usul Kayas.

"Gue juga lagi mikir ke arah situ sih, Kay. Sebenernya, beberapa hari yang lalu gue udah buka obrolan ini sama Pak Soga. Dari sekian banyak guru yang ada, setidaknya Pak Soga ini masih berjiwa muda dan terbuka sama usulan anak-anak." jelas Anjana.

"Ngobrolin apa aja?" tanya Kayas. Ia kini mengikuti jejak Marun, menikmati potong demi potong kue nastar buatan ibunya.

"Tentang kemungkinan restorasi ekskul musik. Dan dari hasil obrolan kemaren sih, Pak Soga cuma bilang dia gak bisa berbuat banyak. Kewenangan kan bukan ada di tangan dia. Apalagi ini menyangkut nama sekolah. Yaa... lu tau sendiri lah gimana Kutukan Moka udah jadi urban legend di Nusa. Pihak sekolah juga gak mau ambil resiko."

Kayas terdiam sesaat. Ia meraih air kemasan di hadapannya, lalu meneguk isinya sebagian. "Kang Amar ada obrolan juga gak sih sama Pak Soga?" sambungnya.

Anjana hanya menggeleng. Ia menjelaskan kalau Amar dan beberapa anak lain yang punya pemikiran yang sama dengan dirinya, merasa ide itu akan ditolak mentah-mentah tanpa adanya pertimbangan. Jadi, sampai saat ini, restorasi ekskul musik itu masih berupa wacana belaka.

Marun mulai beropini, "Tapi, Jan... lu beneran yakin sama rencana ini? Emang lu gak takut kalo nanti hidup lu bakalan kena sial? Dan lagi, kita harus inget kalo kita ini masih kelas pemula. Kita di Nusa baru lima bulan! Bentar lagi udah mulai ujian. Yang harusnya jadi fokus kita sekarang itu ya belajar." 

Sebagian dari dirinya memang tertarik dengan rencana Anjana. Tapi di sisi lain, Marun mencoba mengingatkan kedua temannya itu akan realita yang ada. Mereka adalah pelajar, tugasnya ya belajar.

"Gue cuma gak mau cari masalah. Bukannya apa-apa, tapi bonyok beneran naro ekspektasi yang tinggi sama gue. Kalo kita keukeuh dengan rencana ini, terus pihak sekolah ngamuk dan ujung-ujungnya malah kita yang ditendang dari sekolah, gimana? Kan gak lucu!" sambung Marun.

"Gue kan udah pernah bilang, gue gak percaya sama kutukan itu!" balas Anjana. Ia beranjak dari duduknya lalu mendekati meja belajar Kayas. Ia mengamati lembar demi lembar foto keluarga yang sengaja Kayas taruh di bagian atas meja belajar. Posisi Anjana kini membelakangi kedua temannya.

"Gue gak percaya kesialan yang terjadi datangnya dari kutukan konyol itu. Lagian, gue ini punya Tuhan. Gue percaya Tuhan yang ngatur hidup gue, bukan kutukan itu!"

Marun menatap punggung teman berbahu lebarnya itu. Keningnya berkerut. Ia meraih air kemasan di hadapannya lalu menghabiskan semua isinya.

"Konyol menurut lu doang, Jan! Tapi kan yang lain terlanjur percaya kalo kutukan itu nyata! Lu gak bisa egois kayak gitu!"

KATUMBIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang