(37) Pertanyaan Masa Depan

15.6K 1K 39
                                    

"Jadi, bagaimana dengan pendidikan kakak?" tanya Alanzio seraya menatap serius pada putrinya yang duduk di hadapannya kini.

Saat ini mereka berempat tengah duduk bersama di ruang keluarga, seperti biasa semenjak Clavina dan Nolan memutuskan tinggal di Jakarta mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama. Hampir setiap malam seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga untuk sekadar menonton bersama atau berbincang.

"Besok Mama Vivi dan Papa Saga mau ikut pulang ke Jakarta, sekalian bawa ijazah SMA dan rapor Vina," ucap Clavina santai, tangannya sibuk mencomot potongan buah segar yang berada di mangkuk. "Lagian sekolah Vina kan juga udah selesai, Yah."

Kepala Alanzio mengangguk pelan dengan mulut yang juga sibuk mengunyah potongan dadu apel. Matanya sesekali melirik ke arah televisi yang menampilkan drama Korea Blue Birthday. Umurnya yang sudah kepala tiga sama sekali tak membatasinya untuk terus menyukai hal-hal berbau K-pop.

Bahkan drama Korea sudah menjadi makanan sehari-hari penghuni rumah ini, setiap televisi menyala pasti yang terputar adalah acara-acara dari channel televisi Korea. Jarang-jarang mereka memutar sinteron Indonesia, bukannya tidak cinta produk lokal hanya saja mereka terlalu malas menonton hal tidak berbobot.

"Jadi, apa plan kakak untuk ke depannya? Kakak enggak berminat untuk kuliah seperti Abang Nolan?" tanya Alanzio lagi.

Tangan Clavina yang hendak kembali memasukkan potongan melon ke dalam mulutnya seketika terhenti, ia mengurungkan kegiatannya dengan pikiran yang melayang.

"Vina masih mau menikmati karir Vina sebagai model, Yah. Apalagi Vina baru-baru ini dapat job besar," gumam Clavina ragu-ragu.

"Artinya kamu enggak mau kuliah dulu? Gap year?"

Kali ini kepala Clavina mengangguk ragu dengan hati yang sedikit takut. Ia hanya takut jika pilihannya yang satu ini membuat orang tuanya kecewa, mengingat kedua orang tuanya adalah sarjana dan kedua saudaranya juga akan meneruskan jejak kedua orang tuanya itu.

Lahir di keluarga yang mayoritas berpendidikan menjadi tekanan sendiri bagi Clavina, ia selalu memaksa dirinya agar bisa menyaingi nilai-nilai saudara dan sepupunya. Apalagi semenjak Nolan diterima di luar negeri dengan beasiswa, fakultas kedokteran lagi.

Namun, respon Alanzio justru di luar dugaan Clavina. Ia mengira ayahnya itu akan menceramahi dirinya dan memaksanya untuk lanjut kuliah, Clavina pun sudah siap untuk yang satu itu jika benar-benar terjadi. Tetapi, kini Alanzio justru hanya mengangguk santai.

"Ayah... enggak marah?" tanya Clavina lagi.

Alanzio terkekeh kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu putrinya itu. "Ngapain ayah marah? Ada alasan buat ayah marah sama kakak?"

Kepala Clavina menggeleng dengan sendirinya, membuat senyum khas kebapakan milik Alanzio terbit di wajah pria itu. "Tuh tahu," ucap Alanzio lagi-lagi dengan wajah santai.

"Tapi, ayah enggak marah 'kan kalau Vina pilih gap year dulu?" tanya Clavina lagi. "Vina mau fokus ke karir Vina saat ini."

"Sukses itu enggak selalu tentang diterima di perguruan tinggi begitu selesai SMA, Kak. Kamu seperti ini pun sudah bisa dibilang sukses," ucap Alanzio. "Mau kamu gap year atau enggak kuliah sekali pun ayah enggak masalah, asalkan pilihan yang kamu pilih hari ini bisa menjamin kamu di masa depan."

Alanzio beranjak dari duduknya, berpindah duduk di sebelah Clavina yang kebetulan kosong. Tangannya mengelus puncak kepala putrinya yang ditumbuhi rambut lebat dan lembut itu, seperti rambut di iklan sampo.

"Tugas ayah dan bunda sebagai orang tua itu untuk membimbing kamu kalau kamu salah jalan, tapi apa sekarang kamu sedang salah jalan? Enggak 'kan? Ayah cuma mau kasih saran, kalau model itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan untuk seumur hidup."

Alanzio meneguk tehnya sebentar sebelum melanjutkan ucapannya kembali. "Selain menjadi seorang model, kamu juga harus bisa mempersiapkan masa depan kamu. Kamu harus memikirkan pekerjaan apa yang membuatmu nyaman untuk dikerjakan, bukan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang," tutur Alanzio hati-hati.

"Kenapa gitu, Yah?"

Tatapan mata Clavina yang tengah bertanya saat ini persis seperti anak kecil polos yang tengah bertanya pada ayahnya, benar-benar membuat Alanzio gemas dan merasa bersalah di saat bersamaan.

Bisa-bisanya dahulu ia menyia-nyiakan anak perempuan titipan Allah sesempurna ini, dan menyakiti hatinya begitu dalam.

"Karena walaupun pekerjaan itu menghasilkan banyak uang, tapi kalau kamu enggak nyaman kerjanya buat apa? Kamu bakal tersiksa sendiri dalam menjalankannya dan pekerjaan itu juga enggak bakal awet buat kamu," tambah Alanzio seraya mencubit kecil hidung mancung putrinya.

"Apa pun pilihan kakak nanti, jangan takut atau segan untuk bilang dan cerita ke ayah sama bunda, oke? Apa pun itu kami janji bakal terus dukung kakak." Kini Alissa yang sedari tadi diam menatap interaksi ayah dan anak itu akhirnya angkat bicara juga.

Kepala Clavina mengangguk pelan dengan kedua sudut bibir yang tak kunjung berhenti mengukir senyuman semanis madu. Hatinya menghangat karena merasakan buah dari keputusannya yang benar tempo lalu untuk pulang dan membicarakan semuanya di Jakarta.

Andai ia tak pulang itu hari dan tak membicarakan semuanya pada ayah dan bundanya, mungkin saat ini ia belum kunjung bisa merasakan kehangatan keluarga kandungnya. Bagaimana pun sayangnya Sagara dan Vivianne kepadanya, tetapi saja rasa sayang yang didapat dari keluarga kandung berbeda.

"Nara? Baru pulang?"

Suara Nolan yang meluncurkan pertanyaan itu sontak mengalihkan atensi mereka bertiga, ketiga menatap ke arah pintu masuk yang menampilkan sosok Clanara dengan kepala menunduk.

Mata Alanzio melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh, ia lalu beranjak dari duduknya sembari menghembuskan napas panjang. Selesai masalah dengan putrinya yang satu, kini putri bungsunya yang mulai berulah.

"Adek, kamu darimana sampai pulang semalam ini?" tanya Alanzio menyelidik, langkahnya mendekati putri bungsunya yang terus menunduk takut.

Alanzio tak habis pikir, bagaimana putri bungsunya yang selama ini sangat polos bisa berubah drastis dalam hitungan beberapa bulan saja. Mulai dari sering pulang malam, hingga terpergok memakai pakaian kekurangan bahan.

"Nara... jawab ayah," ucap Alanzio lagi saat tak kunjung mendapat jawaban.

"Aku habis dari jalan-jalan sama Kak Edrick, Yah," jawab Clanara ragu-ragu pada akhirnya.

Kepala Alanzio mengangguk pelan mendengarnya. "Tapi kenapa selalu pulang malam banget? Adek tahu sendiri kalau hubungan adek dan Edrick itu masih tahap tunangan, belum sah menikah. Jadi, ayah harap adek jangan bertindak terlalu jauh."

"I... iya, Ayah," jawab Clanara seadanya. "Aku boleh langsung naik 'kan? Aku capek banget."

"Iya. Adek langsung ke kamar aja, mandi terus istirahat. Jangan kecapekan terus, nanti takutnya malah drop lagi," pinta Alanzio.

Tanpa berkata-kata lagi Clanara pun langsung berlari kecil menaiki satu persatu anak tangga, hingga masuk ke kamarnya. Alanzio dan Alissa yang melihatnya hanya bisa mengembuskan napas panjang dengan kelakuan putri mereka.

"Zio, kita enggak bisa biarin Clanara terus seperti ini. Kita harus bicara sama Edrick untuk tidak terus membawa Clanara pulang malam seperti ini, kita bahkan enggak tahu di luar sana mereka ngapain," ucap Alissa lirih.

Sungguh, ia tak ingin gagal menjadi seorang ibu untuk yang kedua kalinya. Setelah Clavina, ia tak ingin Clanara juga ikut menjadi korban kelalaiannya dalam memegang peran orang tua.

----

To be continued...

Mari ramaikan kolom komentar!

Spam nama Clavina di sini!

Spam nama Clanara di sini!

Spam untuk next di sini!

DOUBLE UPDATE, YEYYY! Kalian harus berterima kasih kepada readers yang semangat spam komen di chapter sebelumnya! 👍

The Next QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang