(49) Percakapan Dini Hari

15.7K 1K 30
                                    

Suara ketukan pintu kamar yang terdengar membuat Clavina mengalihkan atensinya dari novel yang kini berada di pangkuannya. Semenjak tinggal di Swiss Clavina sama sekali tak diperbolehkan memegang ponsel atau bermain media sosial, membuat Clavina mengisi waktunya dengan membantu Oma Evelyn berkebun atau membaca novel dan majalah.

"Masuk aja," sahut Clavina saat mendengar suara ketukan untuk ketiga kalinya.

Decitan pintu kayu yang dibuka terdengar, diikuti sosok Leon yang muncul dari balik pintu itu. Ia berjalan menghampiri ranjang Clavina usai kembali menutup pintu, mendaratkan bokongnya di pinggir ranjang tersebut.

"Lagi apa?" tanya Leon berbasa-basi.

"Baca novel nih," ucap Clavina seraya mengangkat sebuah novel karangan Sandra Brown dengan kedua tangannya.

Kepala Leon mengangguk pelan, matanya menatap teduh pada sosok Clavina yang kini tampak lebih dewasa dari tiga tahun lalu. Usianya yang bertambah matang tak membuat kadar kecantikannya berkurang.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Leon yang langsung menghentikan aktivitas gadis itu. Ia menatap kedua manik mata Leon, seolah tengah bertanya tentang apa yang akan dibahas pria itu.

"Mengenai permintaan kamu kemarin. Aku sudah bahas sama papa dan mama, tapi sebelum itu aku mau tanya satu hal sama kamu."

Clavina menaikkan salah satu alisnya yang dibubuhkan sedikit goresan pensil alis berwarna cokelat itu. "Tanya tentang apa?"

"Apa yang buat kamu ingin kembali sebagai model? Kenapa tidak mau pilih profesi lain yang enggak terlalu melelahkan saja? Seperti menjadi desainer atau merintis usaha kamu sendiri," ucap Leon.

Pria itu masih berharap Clavina mau mengubah keputusannya yang sangat berisiko itu. Ia tak ingin jika sampai hati Clavina kembali dihancurkan jika kedua orang tuanya membawa ia kembali pulang ke Indonesia. Ia sudah cukup bahagia melihat senyuman Clavina di sini.

"Karena aku senang, Leon. Aku senang ketika aku berada di atas panggung dan berjalan dengan pakaian indah di badan aku. Aku senang ketika makna dari pakaian itu bisa tersampaikan dengan baik kepada penonton, aku juga senang ketika melihat karya dari desainer-desainer hebat itu bisa aku gunakan," jelas Clavina.

Matanya terlihat berbinar ketika menceritakan segudang alasannya untuk kembali ke dunia fashion itu. Sorot matanya benar-benar menunjukkan kebahagiaan ketika bercerita, seolah cerita itu adalah salah satu kebahagiaan hidupnya.

"Aku sering mendengar orang-orang berkata bahwa menjadi seorang model adalah pekerjaan sia-sia, karena pekerjaan ini sama sekali tidak menjamin masa tua kami. Tapi, bagiku menjadi model adalah salah satu alasan aku bisa bertahan hidup," sambung Clavina bercerita.

"Saat aku berada di fase paling terburuk dalam hidup aku, kamu datang dan menawarkan pekerjaan ini sebagai pelipur lara. Hari ini pun aku ingin agar pekerjaan ini bisa menjadi alasan aku untuk bangkit kedua kalinya, membantu bunga tanpa akar ini untuk mekar dengan sempurna."

Leon yang mendengar penuturan Clavina benar-benar tak menyangka jika arti pekerjaan ini sebesar itu dalam hidup Clavina. Ia yang tak tahu harus berkata apa hanya bisa membawa gadis itu ke dalam pelukannya, karena ia tahu bahwa pelukannya adalah salah satu tempat ternyaman bagi Clavina hingga saat ini.

"You're really strong. I'm sure, one day you will really bloom beautifully, Honey. Dan aku akan membantumu untuk mekar lagi kali ini," bisik Leon.

"Aku akan selalu membantumu mekar walaupun itu untuk ke seribu kalinya."

Mendengar persetujuan tak langsung dari Leon pun membuat Clavina membalas pelukan pria itu dengan begitu erat, bahkan air mata bahagia menetes dari kedua matanya.

Di tengah-tengah pelukan mereka Leon menolehkan kepalanya sebentar pada jam yang berada di atas nakas. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas kala melihat kedua jarum jam berada pas di angka dua belas.

"Happy Anniversary, Clay," bisik Leon lagi. "Aku benar-benar beruntung bisa memiliki kamu selama ini."

Raut wajah Clavina seketika berubah menjadi terkejut mendengar ucapan Leon, ia melepaskan pelukan mereka secara sepihak dan melihat jam weker di atas nakasnya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman manis kala menyadari bahwa hari telah berganti.

"Happy Anniversary too, Mein Freund." Ia mengalungkan tangannya di leher Leon sementara pria itu memeluk pinggang Clavina posesif, membuat kedua manik mata mereka saling bertemu dan bertaut.

"Can i kiss you?" tanya Leon meminta izin.

Sejenak Clavina terdiam, tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya kembali. Hanya sebuah ciuman di hari yang bahagia bukan? Tak ada yang salah dari itu. Lagipula saat ini mereka berada di Swiss, negara yang menganut kebebasan individu dan tak akan heboh hanya karena melihat sepasang kekasih berciuman.

Hei, di negara Eropa lain bahkan pria dan wanita yang tak memiliki hubungan atau hanya berpacaran bisa bebas melakukan hubungan badan.

"Sure," jawab Clavina pelan.

Leon yang mendapat lampu hijau pun mendekatkan wajahnya dengan wajah Clavina, membuat gadis berpiyama putih itu memejamkan kedua matanya malu-malu. Selang beberapa detik ia merasakan bibir kenyal Leon mendarat di keningnya beberapa saat, sebelum kembali terlepas.

Kedua pipi Clavina memerah merona setelah mendapat perlakuan romantis ini, apalagi pikirannya sudah mengira jika Leon akan mencium bibirnya tadi.

Tangan Leon terangkat dan membelai lembut bibir merah muda dan lembut milik Clavina. "Yang ini nanti, ya. Tunggu sampai aku benar-benar berhak atas kamu."

Tubuh Clavina terasa melemas dengan segala perlakuan manis Leon, walaupun mereka sudah berpacaran selama tiga tahun, tetapi ia belum bisa terbiasa dengan sikap manis yang tiba-tiba dari pria itu. Wajahnya bahkan kini sudah sangat merah seperti tomat yang matang.

"Besok mau dinner? Kita ke ibu kota dan jalan-jalan seharian di sana," ajak Leon mengalihkan pembicaraan saat tahu bahwa gadisnya tengah malu-malu saat ini.

Kedua mata Clavina berbinar dan kepalanya mengangguk antusias, persis seperti anak kecil yang ditawari permen. "Mau!!"

"Oke, sekarang kamu tidur biar besok bisa bangun pagi. Good night, Clay. Let's make a happy day tomorrow!"

"Good night too."

Leon mengacak-acak pelan surai rambut panjang yang terurai milik Clavina, ia kemudian beranjak dari duduknya dan meninggalkan gadis itu dengan kondisi jantung yang berdebar-debar melebihi batas normal.

Tangannya bahkan memegang dadanya, merasakan degupan menggila dari dalam sana, seolah jantungnya akan meledak saking senangnya dengan perlakuan Leon.

"Ya Allah, apa bisa aku egois dengan menginginkan Leon selamanya menjadi milikku? Kali ini saja, buat aku bahagia dengan menjadikan Leon sebagai pasangan hidupku," doa Clavina.

"Aku memang bukan hamba yang taat atas perintah-Mu, tetapi aku juga sama seperti hamba-Mu yang lainnya. Aku juga menginginkan kebahagiaan dan kebahagiaan itu hanya bisa aku dapatkan jika bersama Leon. Jadi, bisakah izinkan seorang hamba Allah ini bersatu dengannya yang bukan hamba-Mu?"

Clavina terus saja bermonolog pada dirinya sendiri dan Tuhannya. Merayu Tuhannya agar mengabulkan doa yang dia sendiri tahu bahwa itu adalah doa paling mustahil bisa terkabul. 

Dinding yang membatasi hubungannya dan Leon bukan perbedaan kecil seperti beda kota atau beda negara. Namun, dinding itu adalah keyakinan, keimanan dan hubungannya dengan Tuhan. Walaupun ia mencoba melupakan fakta itu, tetap saja ia terus memikirkannya.

Akan ke mana akhir cintanya ini bermuara? Ke sungai perpisahan atau ke sesuatu yang mustahil?

----

To be continued...

Ada yang bisa tebak bagaimana akhir cinta mereka? Bahagia kah atau...

Yuk spam next di sini!

SIAPA YANG BAPER? CUNG TANGAN!

The Next QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang