Spesial Part

29.8K 1.7K 231
                                    

Tiga keluarga berpakaian serba putih itu berjalan ke arah dua pusara dengan bentuk yang berbeda. Nisan yang satu memuat tulisan berlafadz Arab, sementara yang satunya lagi memiliki tanda salib.

Setelah meninggalkan dunia pun perbedaan itu masih tetap ada. Dia dengan Tuhannya dan Clavina dengan Tuhannya juga. Lantas kapan mereka bisa benar-benar bersama?

Mereka berkumpul di tengah-tengah dua pusara itu. Tangis Alissa langsung pecah kala memeluk nisan putri pertamanya, bahkan ia tak mempedulikan ucapan Alanzio yang menyuruhnya untuk tenang.

Ibu mana yang bisa tenang ketika dihadapkan dengan kuburan anaknya sendiri? Setiap orang tua, terutama seorang ibu pasti ingin meninggalkan dunia lebih dulu dibandingkan anaknya.

"Kenapa kamu harus senekat itu, Sayang? Kenapa?" gumam Alissa dengan suara parau.

Air matanya tak mau berhenti untuk berjatuhan, membuat tubuhnya lemas dan hanya bisa  bersandar dalam pelukan sang suami.

"Maaf, kami terlalu egois, ya? Kami enggak mengizinkan kalian untuk bersama-sama hingga kalian memilih untuk bersama-sama dengan cara kalian," ucap Alissa.

Alissa tak sanggup menahan air matanya, ia hanya bisa terisak seraya menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alanzio yang berbalut baju koko putih itu.

Sementara itu, ibu Leon ditemani oleh Vivianne kini beralih pada makam Leon. Setelah kepergian Clavina dan Leon satu tahun lalu ketiga keluarga itu semakin dekat dan akrab, karena hanya mereka yang bisa merasakan duka satu sama lain.

Tak ada yang bisa merasakan duka mereka lebih baik daripada satu sama lain.

"Apa kalian sudah bahagia di alam sana? Apa Tuhan sudah memperbolehkan kalian bersama? Atau kalian masih saja terpisahkan?" ucap ibu Leon.

Kedua mata wanita baya itu tampak berkaca-kaca dengan perasaan yang sesak.

"Kami semua berharap pilihan kalian ini benar-benar bisa menyatukan kalian," tambah ibunda dari Leon lagi.

Vivianne pun mengangkat keranjang berisi berbagai bunga itu dari atas pangkuannya, menaburkan bunga pada makam Leon dan Clavina secara bergantian.

Sengaja mereka menguburkan keduanya berdampingan, agar cinta mereka selalu menjadi kenangan dan sejarah tersendiri. Tak lebih tragis dari Romeo dan Juliet, tak lebih menyedihkan dari Layla dan Qais.

"Vin, lihat Nafisah sudah besar sekarang. Dia selalu memeluk foto kamu saat tidur, katanya kamu adalah tante terbaik dalam hidup dia. Kamu adalah kesayangan dia," ucap Clanara kini.

Ia menundukkan kepalanya, Edrick yang melihat hal itu pun ikut berjongkok dan mengusap punggung sang istri. "Kamu jahat, Vin."

"Kenapa kamu pergi di saat hari bahagia aku? Kenapa kamu membuat aku jadi sedih dan senang di saat bersamaan. Aku harus apa? Ketika di saat bersamaan hari ini adalah peringatan pernikahan aku, tetapi juga peringatan kematian kamu. Aku harus merayakan atau berduka?"

Clanara meremas gundukan tanah yang dipenuhi bunga itu, ia terisak dengan air mata yang keluar deras dari pelupuk matanya.

Di saat orang kehilangan yang terkasih, di saat itu pula mereka baru bisa memahami arti satu sama lain dalam kehidupan mereka. Hingga yang tersisa hanya kenangan dan penyesalannya saja.

"Aku bodoh. Aku kayaknya bukan kembaran kamu deh," ucap Clanara seraya tertawa hanbar. "Hanya muka kita yang mirip, tapi aku sama sekali enggak punya ikatan batin sama kamu. Aku enggak pantas disebut saudara apalagi kembaran kamu, buktinya aku enggak bisa menahan kamu di saat itu."

Clanara menyesal.

Ia menyesal karena menjadi orang yang memiliki kenangan paling sedikit dengan Clavina, kembarannya sendiri. Sering kali ia bahkan merasa ragu, apakah ia benar-benar memiliki hubungan darah dengan gadis itu?

Alanzio dan Sagara berjongkok, menghadap pada pusara Clavina seraya mengelus nisan bertuliskan nama lengkap gadis itu, berserta nama Alanzio.

"Yang tenang di sana, ya? Hingga saatnya tiba, tunggu Ayah sama Bunda, tunggu Mama sama Papa juga," ucap Alanzio lembut.

Walaupun wajahnya kini terlihat tenang, tetapi tak ada yang bisa mengetahui seberapa kacau hati Alanzio saat ini. Putri yang baru saja hendak ia genggam, dirampas dengan tragis dari pelukannya.

"Anak Papa udah bahagia di sana? Kenapa harus setragis ini, Sayang? Kalau kamu minta sama Papa pun semuanya bakal Papa kasih, termasuk restu untuk cinta kalian. Sayangnya, Papa enggak punya wewenang itu, ya? Seandainya Papa adalah ayah kandung kamu, pasti Papa akan berikan itu," ucap Sagara.

Ia membalikkan tubuh, beralih pada pusara milik Leon.

"Terima kasih sudah menjadi superhero terbaik bagi putri saya, Yon. Maaf karena belum bisa berbuat banyak dalam hidup kalian dan maaf karena belum bisa menyatukan kalian. Saya dan yang lain janji akan selalu mendoakan kalian, agar kalian bisa benar-benar bersama di sana."

"Yuk pulang," ajak Sagara seraya membantu Vivianne berdiri.

Mereka dengan berat hati berjalan meninggalkan pusara itu, mengingat langit yang mendung dan hujan yang tampaknya sebentar lagi akan turun. Seolah langit tahu bagaimana sedihnya mereka hingga ia pun ikut menangis.

Setelah kepergian mereka semua, dua orang remaja pria datang dengan wajah berantakan. Pria yang hatinya dihancurkan dengan kabar kepergian Clavina dan Leon.

Mereka adalah Ryan dan Nolan.

Keduanya terduduk di tengah-tengah makam Leon dan Clavina, tak mempedulikan jika pakaian mereka akan kotor karena tanah.

"Assalamu'alaikum, cantiknya Abang," ucap Nolan. "Hari ini Abang mau bilang kalau Abang ikhlas dengan kepergian kamu. Abang capek, abang capek terus menggantung harapan yang nyatanya sia-sia doang. Selama ini abang selalu berharap kalau kamu akan pulang dan peluk abang kayak dulu."

"Pasti kamu merasa berat, ya? Berat karena abang belum bisa ikhlasin kamu selama ini," sambung Nolan seraya memeluk nisan Clavina. "Sekarang, Insyaallah abang ikhlas. Tenang di sana, jadilah bidadari di surga-Nya."

Nolan merasa seperti ada kelegaan sendiri di dalam hatinya begitu mengikhlaskan kepergian Clavina.

Ia beralih menatap makam Leon dan tersenyum kecil. "Terima kasih sudah menjaga Clavina, ternyata kamu orangnya. Kamu masih saja menjadi pemeran utama dalam hidup dia hingga akhir kisahnya. Bahkan kamu pemeran utama itu, yang membuat dia memilih jalan ini."

"Saya enggak mau menyalahkan kamu atas kepergian adik saya, kok. Saya yakin, Clavina bukan orang bodoh yang akan bertindak tidak rasional, apalagi untuk hidupnya. Semoga di sana kamu bisa menjaga dia, jadilah malaikat penjaganya sama seperti kamu menjaga dia di dunia ini."

Nolan kemudian mengeluarkan sebuah karton berbungkus plastik dari kantung celananya. Ia menaruh karton itu di atas kuburan Clavina.

Wedding Invitation

Nolan & Zelena

Tulisan itu tercetak begitu besar dan anggun di bagian depan karton undangan. "Jangan lupa datang, ya? Abang tunggu kehadiran kamu di pernikahan abang."

Ia lalu beranjak dari posisi duduknya seraya menepuk pelan pundak Ryan yang masih melamun, ia berjalan meninggalkan pria itu seorang diri di tengah-tengah makam yang mulai menggelap.

"Ternyata ini pilihan kalian, ya. Gue masih enggak nyangka sama sekali, kalian pilih jalan bodoh kayak gini satu tahun lalu," gumam Ryan dengan tawa hambat. "Lo tega, Vin."

"Gue enggak apa-apa kalau emang lo gak bisa jadi milik gue, tapi kenapa lo harus tinggalin gue? Lo buat gue kehilangan sosok adik dan sahabat tersayang gue."

Suara Ryan terdengar lirih dan berat. Kedua matanya memerah menahan tangis.

"Bahagia di sana, ya? I always love you."

----

SIAPA YANG KANGEN CERITA INI? Cung tangan dulu!

The Next QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang