(28) Ajakan

18.3K 1.2K 29
                                    

"Mama, Clavina pu-"

Ucapan Clavina terhenti dan tubuhnya mematung di pintu kala melihat kedua orang tua kandungnya tengah duduk di ruang tamu bersama orang tua Ryan, juga ada Nolan yang ikut duduk di sana.

Matanya menatap bingung pada keenam orang yang ada di ruang tamu itu, belum bisa mencerna semua hal yang terjadi saat ini.

Mengapa orang tuanya ada di sini?

Mengapa orang tuanya duduk bersama mama dan papanya?

Pertanyaan demi pertanyaan terus saja bermunculan di dalam kepala Clavina, membuat kepalanya seketika terasa pening.

"Vina, duduk dulu di sini sebentar," panggil Sagara seraya menepuk bagian sofa yang kosong di sebelahnya. "Ada yang mau ayah dan bunda kamu bicarakan."

Dengan hati yang ragu Clavina melangkahkan kakinya menuju Sagara dan mendudukkan bokongnya tepat di sebelah pria matang itu. Ia menatap kedua mata legam Sagara bingung.

Kemudian tatapannya beralih pada Nolan dan Ryan yang duduk tepat di depannya, mereka bertiga hanya dipisahkan dengan meja kaca yang ada di tengah-tengah.

"Kakak... pulang, ya?" Alissa yang sedari tadi diam merasa cukup dan akhirnya angkat bicara, matanya menyorot sendu penuh kerinduan pada putri pertamanya itu.

Tubuh Clavina terhuyung ke belakang kala mendengar permintaan bundanya barusan, keningnya mengernyit bingung. "Pulang?" ulangnya tanpa suara.

Selang beberapa detik kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum getir. "Pulang ke mana, Bun? Rumah aku di sini, keluarga aku yang sebenarnya di sini, aku harus pulang ke mana lagi?"

Hati Alissa mencelos mendengar penuturan penuh luka dari salah satu putrinya itu. Tak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang ibu ketika anaknya tak lagi menganggap dirinya sebagai tempat pulang.

Ketika rumah yang selama ini ia bangun dengan susah payah, tak bisa lagi menjadi tempat ternyaman untuk menetap.

Ketika yang namanya keluarga, tak lagi menjadi tempat ternyaman untuk bercerita.

"Kakak, kita pulang, ya? Pulang ke rumah yang selama ini kakak dan abang anggap sebagai neraka, rumah yang selama ini kalian benci. Ayo pulang ke rumah itu, Kak, Bang," ajak Alissa dengan suara bergetar.

Tubuhnya yang bergetar halus membuat Alanzio berinisiatif untuk memegang kedua pundak istrinya dan mengelus lembut untuk menenangkan wanita itu. Bulir-bulir halus tampak berjatuhan di pipi Alissa dan membasahi hijab yang ia kenakan.

"Kita pulang. Kita bicarakan semuanya, semua hal yang selama ini membuat kalian benci dengan rumah itu," tambah Alanzio yang akhirnya ikut angkat suara.

Kepala Clavina yang sedari tadi menunduk kini terangkat dengan sendirinya, ia menatap ayah dan bundanya bergantian, salah satu alisnya terangkat naik.

"Bukan rumah itu yang salah, Yah. Rumah itu enggak salah apa-apa, rumah itu cuma benda mati yang enggak pantas buat disalahin dan dibawa-bawa dalam masalah kita ini," ucap Clavina dengan berani. "Yang salah di sini adalah orang-orangnya."

Alanzio tertegun mendengar ucapan gadis berahang tegas itu, mulutnya seolah bungkam dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.

"Yang salah di sini adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Orang-orang yang mengaku keluarga, tetapi sebenarnya tak pernah pantas disebut keluarga. Orang-orang yang darahnya mengalir di dalam tubuh aku, tapi enggak pernah paham tentang perasaanku sendiri."

Clavina benar-benar mengeluarkan segala hal yang bercokol di dalam hatinya, segala kata dan kalimat yang selama ini hanya bisa ia pendam tanpa diberi kesempatan untuk mengucapkannya.

The Next QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang