MBSD|06|DISKUSI DENGAN IBU

1.9K 72 1
                                    

"Suara apa itu, Meta?" tanya Ibu yang ternyata menangkap suara itu juga.

Aku memijat pelipis karena memang terasa pening setelah banyak memikirkan segala hal. Ingin meluruskan permasalahannya, tapi malah datang masalah lain.

Ibu menyelidiki sebenarnya apa yang terjadi dalam ruangan persegi itu. Kedua matanya menyisir ke sekitar, mencoba mencari barangkali ada orang di sana. Akan tetapi, suasana kamarku memang sangat sepi.

Suara dering teleponnya membuat langkahnya terhenti. Dia menerima sambungan teleponnya lebih dulu, setelahnya mungkin dia akan lupa dengan suara dari arah pojok lemari. Ibu keluar dari kamarku karena dia menerima telepon dari pelanggan. Ibuku mencari uang dari usaha catering yang selama beberapa tahun ini bergerak. Aku menghela napas lega, urusan bisnisnya akan menyibukkan dirinya untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Aku kembali menutup pintu lalu menguncinya agar semuanya aman terkendali. Mengurusi bosku lebih dulu mungkin akan lebih baik.

"Pak ... pulangnya lewat jendela ya." Sesekali aku menggaruk pelipisku yang terasa gatal, lebih tepatnya otakku yang minta digaruk karena kebanyakan mikir.

"Memangnya saya bilang akan pulang sendirian?" tanyanya, dia menaikkan alisnya sebelah.

Bapak-bapak ini memang genit sekali, bahkan susah diatur. Disuruh pulang malah enggak mau, terlalu meresahkan. Aku mencoba untuk tenang mengontrol emosi agar tidak membludak. Kalau semisal aku memarahinya bisa saja besok atau lusa riwayatku tamat dipecat karena sudah menolak cintanya. Eh, tapi apa lebih baik kalau semisalnya aku tidak bekerja di sana lagi? Mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat pertama kali aku lulus dari salah satu Universitas mencari pekerjaan itu memang tidak mudah. Itulah sebabnya alasanku bertahan sampai tiga tahun di perusahaan milik sugar daddy karena tidak ingin bersusah lagi mencari pekerjaan. Apalagi gajiku sekarang sudah besar sangat cukup, makanya sering checkout barang-barang online saat tanggal cantik.

"Maksud Bapak?" tanyaku, otakku memang selalu terlambat berpikir.

"Kamu akan pergi ke kantor kan? Kita bersama-sama ke sana. Oke?"

Bersama ke kantor? Cobaan apa lagi ini, aku belum menyempatkan ke dokter untuk memeriksakan jantungku yang seringkali berpacu cepat kala dekat dengannya. Hari ini dia mengajakku untuk pergi ke kantor bersamanya, itu sama saja cari penyakit.

"Bisa sendiri kok, Pak. Enggak perlu diantar kayak anak TK."

"Bukan mengantar, tapi kita sama-sama ke sana." Mahendra kembali menjelaskannya.

"Kalau memang Bapak mau berangkat bareng sama saya, Bapak harus keluar dari kamar saya ya." Kalau semisal Ibu melihatnya di dalam kamarku nanti bisa berabe urusannya.

Dia tampak berpikir karena terlihat dari raut wajahnya. Aku tahu segalanya mengenai Mahendra, karena sudah mengenalnya selama tiga tahunan.

"Saya mohon, Pak." Aku menangkupkan kedua tangan di atas dada mencoba untuk membuatnya mengerti dengan keadaan.

"Kalau gitu saya tunggu kamu di depan."

"Meta ... itu di depan rumah ada mobil. Mobil siapa?" tanya Ibu dengan suara lantang terdengar dari luar.

Mengingat Mahendra yang datang menemuiku dengan mobil, membuatku tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu. Aku lebih dulu mengurusi bosku yang hendak keluar lewat jendela kamar. Beruntungnya rumahku tidak bertingkat, kalau saja seperti itu mungkin dia tidak akan mau manjat lewat jendela karena sama saja cari mati.

Dia berhasil keluar dari kamarku, hal itu membuatku merasa lega. Aku menghela napas pelan, mulutku menganga seperti ikan yang minta makan.

"Meta ... kamu dengar Ibu?" tanyanya.

Aku terperanjat mengingat Ibu yang berada di depan pintu kamarku. Membukanya lebih dulu lalu memasang wajah semanis mungkin karena tidak ada lagi suatu hal yang kutakutkan, Mahendra sudah berada di luar.

"Di luar ada mobil. Kamu tahu mobil siapa?" tanya Ibu.

"Oh itu. Bosku, Bu. Katanya sekalian mampir soalnya tidak ke kantor lebih dulu, langsung ke tempat klien yang jaraknya lumayan." Bohong lagi, entah sudah berapa kali aku membohonginya. Akan tetapi, hidupku tetap saja tidak memanjang seperti Pinokio.

"Dari tadi dia nunggu di luar? Kenapa kamu biarin dia gitu aja? Ibu lihat dari tadi lho mobilnya di sana." Padahal, tidak dijelaskan juga aku sudah tahu jika mobilnya terparkir di sana dan orangnya berada di dalam kamarku. Kalau saja Ibu tahu, mungkin akan marah dan terjadi perang dunia kedua.

"Oh iya, Bu. Biarin aja. Kalau gitu aku mau siap-siap dulu ya."

***
Setelan jas yang sewarna dengan rok sebatas lutut kini melekat di tubuhku yang tidak seperti biola spanyol. Tubuhku memang tidak terlalu tinggi, tapi berhasil masuk tanpa dilihat ketinggian karena saat melamar ke sana aku langsung diterima menjadi sekretaris tanpa ada syarat tertentu. Mungkin nilai pencapaianku saat di bangku kuliah menunjukkan angka lumayan, membuat mereka mempertimbangkan aku masuk ke dalam karyawan di perusahaan tersebut.

Aku melenggang keluar kamar, tapi begitu langkahku berjalan ke arah ruang tamu kedua kakiku sulit digerakan begitu pandanganku menangkap dua orang yang tengah bercengkrama.

"Putri Ibu sangat pandai, cantik pula. Pastinya orang yang kelak mendapatkannya salah satu pria beruntung di dunia karena memilikinya." Mahendra mengatakannya dengan kesungguhan.

"Aduh ... jangan terlalu memuji putri saya, Pak. Semua orang memang sudah tahu jika dia termasuk ke dalam kriteria perempuan idaman, tapi entah kenapa tidak ada pria yang segera meminangnya." Ibu terkekeh-kekeh mengatakannya. Nyaris ke semua orang yang berbincang dengannya dia pasti selalu membicarakanku karena belum saja menikah. Padahal santai saja dulu cari uang, toh aku juga tidak terlalu khawatir mengenai hal itu.

"Nanti juga ada yang meminangnya, Bu."

"Siapa ya orangnya nanti," ucap Ibu menerawang.

"Saya, Bu."

Seperti ada biji salak yang meluncur ke dalam tenggorokan hingga dadaku terasa sesak begitu mendengar jawabannya. Beraninya sekali dia mengatakan hal itu pada Ibu bikin darah tinggi saja.

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang