MBSD|29|TANGISAN KEDUA ANAK MAHENDRA

615 30 2
                                    

Mahendra menyetujui bisnis yang akan dikerjakan dengan Revan, kekasihku sangat antusias begitu menjabat tangannya. Bahkan dia tiada henti berterima kasih karena presentasiku yang dikatakan sangat memukau sehingga dapat menarik perhatiannya, padahal jika saja dia tahu materi yang kusampaikan mengenai hubungan kami kembali dilanjutkan. Tidak peduli bagaimana pemandangan kebanyakan orang jika tahu kebodohanku selama ini, dia memang sudah mempunyai istri begitu aku yang baru saja menerima lamaran dari seorang pria yaitu Revan.

Revan terus saja menghujaniku dengan perkataan memuji, karena tender dari Mahendra merupakan awal yang baik untuk kemajuan kantornya. Aku memang senang jika pekerjaanku dikatakan nyaris sempurna, tapi mana bisa aku bekerja dengan dua pria yang sama-sama memiliki kisah denganku.

Aku mengembuskan napas pelan sambil memandangi awan yang hitam pekat, sudah malam memang tapi masih saja berdiri di dekat jendela yang dibiarkan terbuka. Sosok Mahendra terus saja membayang dalam pikiranku seolah tidak ingin pergi dalam hidupku.

"Meta," panggil seseorang, hal itu membuatku segera menoleh ke arah belakang dan mendapati Ibu yang berdiri tidak jauh dari tempatku, dia melemparkan senyuman sangat manis.

"Kenapa belum tidur?" tanya Ibu. Aku menggeleng pelan seolah mengatakan semuanya baik-baik saja. Padahal isi kepalaku terdapat benang kusut yang tidak mudah kuluruskan, andai saja Ibu tahu jika kisah putrinya terlalu rumit dari yang dikira.

"Tidur sana, nanti kebiasaan sampai udah nikah." Ibu terkekeh-kekeh pelan, tapi tidak denganku yang malah malas jika membahas soal pernikahan. Karena sampai sejauh ini aku malah merasa ragu menjalin hubungan degan Revan, mana bisa aku memikirkan perihal pernikahan dengannya jika saat ini saja aku tidak begitu yakin dengan sosoknya.

"Aku kepikiran Ayah, Bu." Terus terang saja ada rasa rindu yang menggebu dalam dada, memang sakit saat mengingat perlakuannya di masa lalu, meninggalkan Ibu denganku yang masih sangat membutuhkannya.

Ibu mengelus kepalaku dengan lembut mungkin dia berusaha menenangkan diriku, dia memang patah hati karena Ayah yang memilih wanita lain. Aku tahu hatinya patah pula rapuh, tapi dia pula sangat merindukan sosoknya karena bagaimana pun Ayah pernah mengisi hidupnya menjadi lebih berwarna, tapi pada akhirnya semua kisah itu seolah sketsa hitam putih dalam kehidupan kami.

"Kamu rindu dengan pria gila wanita itu?" tanya Ibu dengan nada ketus. Aku tahu wanita itu benar-benar patah karena Ayah yang teganya meninggalkannya saat itu. Andai saja pria itu tidak tergoda dengan si pelakor mungkin sampai sekarang hubungan rumah tangga mereka akan tetap harmonis.

"Memangnya aku salah merindukan Ayah sendiri, Bu?" tanyaku, Ibu akhirnya tertunduk diam. Tidak ada salahnya jika seorang anak merindukan orang tuanya yang sudah lama tidak bertemu. Aku memang tidak bisa memaafkannya karena dia sudah meruntuhkan segala hal hingga terasa sangat menyakitkan.

"Seperti itulah rasanya kedua anak bosmu itu saat ayahnya berduaan dengan kamu. Mereka merasakan kerinduan kebersamaan yang harmonis dengan kedua orang tuanya. Apakah kamu tidak berpikir, Meta? Dia sama seperti kamu." Ibu bukannya menjawab pertanyaanku, tapi dia malah menyindirku dengan perkataan keras.

Aku tahu jika sikapku memang terlalu sadis membuat Ayah dari dua orang anak merasakan kehilangan keharmonisan di rumahnya karena sang Ayah terlalu banyak menghabiskan waktu denganku saat itu. Apakah aku tidak berpikir dengan hati mereka yang pastinya sangat rapuh seperti halnya aku yang sampai saat ini masih merasakan rasa sakit itu?

Ibu memalingkan pandangannya ke arah lain sepertinya dia merasa tidak sanggup menahan bulir bening yang sedari tadi terus mendesak keluar membasahi kedua pipi. Wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkanku seorang diri yang masih menyelami pemikiran mengenai Mahendra yang selalu bersarang dalam isi kepalaku.

"Salah satu wanita sadis di muka bumi ini adalah seorang pelakor, dan salah satunya termasuk aku."

***
"Kamu panggil pria itu saja pakai sebutan Mas, kok sama saya Bapak terus? Memangnya saya itu Bapak kamu, hm?" tanya Mahendra, tangannya menggandeng lenganku dengan mesra.

Hari ini kami libur bekerja karena ingin menghabiskan waktu bersama, kalau pun berlibur dengan Revan pasti dia membahas soal pernikahan kami yang akan segera dilaksanakan di waktu dekat. Aku memang masih meragukannya terlebih dngan perkataan wanita hamil yang mengakui sebagai istrinya, tapi aku malah menikmati permainan ini kembali ke dalam pelukan Mahendra meski aku tahu semua perlakuan yang kulakukan sebuah kesalahan.

"Memangnya kamu mau aku panggil apa?" tanyaku sambil terkekeh-kekeh pelan.

"Pengin kayak anak muda dong." Mahendra menjawil daguku dengan gemas, kenapa sangat menyenangkan jika hari-hariku diisi oleh kebersamaan dengannya? Apakah inilah yang disebut jatuh hati pada pandangan pertama? Dari sekian kisah hanya dengannya aku bahagia dan memberikan kesan yang tiada kulupakan.

"Sayang?" tanyaku akhirnya.

Dia tampak berpikir lama sekali hingga akhirnya mengangguk sambil terkekeh pelan. "Boleh juga, Sayang."

Kami berdua menyusuri rerumputan hijau di sepanjang jalan taman, bukan hanya aku juga Mahendra yang berada di sana bermesraan. Akan tetapi, ada beberapa anak remaja pula yang tengah berjabat tangan sambil menikmati suasana taman dengan pasangannya seolah dunia milik berdua.

Mahendra mengajakku terduduk di salah satu kursi panjang yang terbuat dari kayu, dia bahkan tidak melepaskan genggaman tangan kami seolah menahanku agar berada di sampingnya.

"Aku takut dengan masa depan," kataku lebih dulu membuka obrolan.

"Kenapa harus takut?" tanyanya, mengerutkan dahinya kebingungan.

"Bagaimana jika masa depanku bukan kamu? Aku akan terus dihantui dengan kesedihan yang tiada henti."

Pria itu meraih tanganku, dia genggam dengan sangat erat seolah takut jika aku benar-benar pergi dari hidupnya.

"Tidak. Tolong jangan mengada-ngada. Kamu akan tetap berada di samping saya."

"Papa jahat!" Suara itu bersumber dari seorang gadis yang mengenakan baju dress sebatas lutut. Kedua matanya merah padam seolah ada banyak kesedihan yang selama ini dipendam.

"Inggit, kamu sama siapa ke sini, Nak?" tanyanya tampak terkejut dengan kedatangan anak keduanya yang datang tiba-tiba.

"Aku, Pah." Rangga berdiri di belakang kami, pemuda itu tengah membawa dua es krim di tangannya dengan berbeda rasa.

"Rangga, kamu sedang apa di sini?" tanya Mahendra kebingungan karena mendapti dua anaknya sekaligus.

"Papa sedang apa di sini dengan wanita perusak hubungan orang ini?" tanya Rangga dengan suara keras membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya.

"Rangga, berhenti!' sergah Mahendra.

"Seharusnya aku yang bilang seperti itu. Papa tolong berhenti bermain api di belakang Mama!" sergah Rangga dengan tegas.

Perhatianku masih tetap setia menatap ke arah gadis mungil yang masih terisak menangis, melihatnya seolah mengingatkanku pada beberapa tahun ke belakang saat melihat Ayah yang pergi meninggalkan Ibu karena lebih memilih wanita lain.

Kedua mataku mulai memanas karena tidak kuasa menahan pedih yang terasa sangat menyakitkan. Jujur saja, aku tidak bisa melihat anak manis itu menangis karena aku pernah merasakan bagaimana sakitnya dikhianati.

"Tolong jangan merusak hidupku, karena perlakuanmu sungguh membuatku terluka, Nyonya." Gadis yang bernama Inggit terisak menangis, hanya beberapa saat dia bernai memandangiku yang kini ikut merasakan kesedihan saat memori masa lalu kembali berputar.

***
Follow yuk akun author.
Jangan lupa tinggalkan sandal kalian, eh maksudnya jejak kalian.



MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang