MBSD|27|KEKASIH DAN MANTAN KEKASIH

691 35 2
                                    

Follow akun author dulu ya. Tinggalkan jejak kalian

***

"Resepsinya mau yang kayak gimana, Sayang?” tanya Revan, dia menunjukkan beberapa gambar di layar laptopnya.

Perkataannya membuatku tersadar dari lamunan, aku menoleh ke arahnya dengan ekspresi datar karena sedari tadi tidak memerhatikannya saat berkata. Dia sangat antusias sekali mempersiapkan segala hal menuju pernikahan kami, bahkan sudah memesan baju pengantin ke salah satu butik untuk kukenakan saat nanti akad juga resepsi. Pria itu benar-benar menginginkanku, sedangkan diriku masih saja meragukan inginnya. Bahkan hatiku seolah tidak memberi rasa sedikit pun padanya, pikiranku selalu saja terlempar pada sosok Mahendra yang tidak kutemui beberapa hari rasanya rindu. Untuk apa kutemui dia? Dan, kenapa aku merindukannya?

“Apa, Mas?” tanyaku memintanya mengulang pertanyaan. Dia tersenyum menyunggingkan bibirnya hingga membentuk senyuman samar.

“Kamu kenapa sih ngelamun terus, Sayang? Aku sedari tadi tanya banyak hal mengenai pernikahan kita nanti lho. Kamu kenapa?” tanyanya lembut. Kedua matanya menatapku dengan tatapan tajam yang sungguh meneduhkan. Dia memang pria baik sesudah Mahendra, tapi kembali mengingat perkataan wanita hamil yang mengakui jika dia istrinya membuatku tidak bisa berusaha membuka hati teruntuknya. Kenapa dia menyembunyikan rahasia sebesar itu jika memnag pernyataan tersebut benar adanya? Aku ingin menanyakan hal itu agar mendapatkan jawabannya, tapi niatku diurungkan karena kembali memikirkan banyak hal. Ada sebabnya setiap keputusan atau langkah yang kita ambil, aku tidak mau menerima banyak akibatnya.

“Aku hanya memikirkan pekerjaan saja.”

Mengalihkan topik mungkin dalihku agar dia tidak mempertanyakan banyak hal yang lebih mendalam. Beruntung saja saat itu di depanku atas meja ada laptop milikku yang menampilkan deretan banyak pekerjaan yang melelahkan mataku saja.

Dia menutup laptop milikku, lalu meraih kedua bahuku dan kini dia juga menarik tubuhku hingga mengadap ke arahnya. Posisi kami saling berhadapan, kedua mata berpandangan, tapi entahlah dengan hati apakah saling berbalaskan perasaan?
“Kamu jangan terus mikirin kerja. Pernikahan kita juga harus segera diuruskan bersama. Bukan pernikahan itu selain menyatukan dua insan, tapi dilihat pula dari kekompakan, kebersamaan. Bukankah begitu?” tanyanya, alisnya naik sebelah. Dia memang tampan, tapi kenapa hatiku tidak bergetar dan dadaku pula masih berdetak normal seperti biasanya. Padahal saat berdekatan dengan Mahendra aku seperti orang yang mempunyai riwayat penyakit jantung, tapi begitu melihat dari google penyebabna selain berpenyakit, nyatanya bisa juga dikatakan faktor jatuh hati. Dari sanalah aku beranggapan jika sebenarnya diriku memiliki perasaan pada seseorang yang berkaitan.

“Aku baru kerja sama kamu aja beberapa hari terakhir ini, Mas. Masa malah malas-malasan, ayo?’ tanyaku, memang benar aku karyawan baru di kantorna, tapi dia sudah merekrutku menjadi seorang sekretaris yang pastinya selalu ada di sampingnya ke mana pun dia pergi. Bukan hanya itu, aku juga mempunyai hubungan istimewa dengannya. Mungkin, sebagian orang akan beranggapan jika hidupku beruntung karena selalu disukai oleh bos sendiri. Padahal, menurutku semuanya hanya derita untuk batinku saja. Teman pekerja yang selau menatapku dengan sinis karena iri ada, apalagi permasalahannya jika pria itu nyatanya sudah mempunyi istri. Bukankah sakit hati mengenai pernyataan itu?

Dia terkekeh-kekeh pelan, aku jadi ingat pada Mahendra jika melihat tawanya. Pria itu juga selalu saja tertawa di saat aku menjawabnya dengan dibubuhi sedikit beberapa hal yang membuat sakit perut saking tidak bisa menahan tawa yang terus meledak memenuhi ruang kerja. Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel di atas nyatanya sudah waktunya jam makan siang. Sebagai simulasi menjadi istri yang baik harus mengingatkannya untuk makan, kan?

“Makan siang dulu yu.” Aku mengajaknya barangkali dia berkenan, tapi nyatanya pria itu menggeleng pelan.

“Hari ini kita akan makan siang sama klien aku, Sayang. Tunggu dulu pesan dari dia ya.” Dia mengusap kepalaku dengan sangat lembut.

“Klien baru?” tanyaku.

Dia mengangguk mengiyakan, “klien kita sekarang orang yang memiliki beberapa perusahaan, nyatanya perusahaan pusatnya menyetujui profosal yang aku kirim.”

Mengenai hal ini aku jadi melupakan perihal wanita yang mengakui sebagai istrinya, padahal niatnya saat makan siang ingin sekali kutanyakan. Akan tetapi, mana mungkin aku menanyakannya sekarang jika akan bertemu dengan klien. Mungkin aku menanyakan lebih lanjut di saat waktu yang tepat.

Tidak berselang lama benda pipih yang tergeletak di atas meja bergetar membuatku mengalihkan pandangan pada smartphone. Dia segera menerimanya, lalu mengiyakan perkataan dari seseorang di sebrang sana dan pria di depanku bangkit dari duduknya.

“Klien kita udah di jalan menuju ke tempat yang sudah disebutkan.” Aku pula mengikuti pergerakannya, bangkit dari duduk dan merapikan barang-barang yang hendak dibawa seperti halnya laptop dan lainnya.

***
Kami berdua terduduk di meja yang sudah dipesankan oleh klien, tepatnya nomer dua puluh dua. Revan menyuruhku untuk memesan makanan, tapi aku menolaknya menunggu klien saja sampai datang.

“Pesan makanannya bareng saja nanti sama klien, Mas.” Dia pun mengangguk pelan mengiyakan perkataanku, nurut sekali memang kekasihku bagaimana nanti jadi suami, eh.

“Selamat siang, maaf menunggu lama.” Suara itu terdengar di belakangku, dadaku berdebar tidak karuan begitu mendengar suaranya yang menurutku tidak asing terdengar.

“Siang, Pak.” Revan pula menyapanya, bahkan menjulurkan tangannya.

Begitu aku menoleh ke belakang, darahku seolah berhenti berdesir dan jantungku bertabuh seperti biasa yang terjadi setiap kali kedua mata kami saling beradu.

“Mr. Mahendra?”

“Meta?”

Benar-benar terkejut mendapati pria yang kini berada di depanku, kenapa dunia ini sangat sempit? Bertemu dengannya bahkan dalam satu meja membuatku jantungku serasa ingin lompat dari tempatnya.

“Kalian saling kenal?” tanya Revan, menghadap ke arahku juga Mahendra.

“Tentu saja. Dia sekretaris terbaik saya.” Jawabannya membuat hidungku melayang saja, dia masih saja tetap memujiku meski aku sudah bukan menjadi kekasihnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan pujiannya yang membuatku ingin lenyap dari dunia, kenapa dia selalu pandai membuat hidungku kembang kempis seperti saat ini.

Dia terduduk di depanku, kenapa harus di sana, Sayang? Aku mengumpatnya dalam hati saking kesalnya karena dia selalu membuatku tidak sehat nyaris gila karenanya. Setelah lama tidak bertemu dengannya, rinduku sangat menggebu ingin sekali mendekapnya seperti dulu.

“Kita pesan saja minuman dan makanan ya, Pak,” ungkap Revan.

“Pesanan saya tanyakan saja pada Meta, dia pasti tahu,” kata Mahendra santai.

Revan memandangiku yang sedari tadi menundukkan pandangan saking tidak berani menatap ke arah Mahendra karena dia terlalu meresahkan bagiku.

“Kamu tahu apa yang dipesan Pak Mahendra, Sayang?” tanya Revan. Kali ini Mahendra menatap ke arah kekasihku dengan tatapan penuh tanda tanya. Sepertinya dia merasakan adanya kejanggalan sat Revan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang”.

***

Pak Mahendra lebih meresahkan daripada Revan ya guys😭😂















MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang