MBSD|36|PANGGILAN ITU LAGI

510 26 2
                                    

Update yeaayyyy ....
Happy Reading 🤗

***

Sebuah foto berbingkai kayu sedari tadi kupandangi, bahkan tiada henti kuusap dengan lembut. Seharusnya benda ini sudah berada di dalam tong sampah bersama tumpukan plastik atau pula bahan lainnya yang menyengat. Akan tetapi, nyatanya gambar dua insan berbingkai itu masih saja tersimpan di atas tumpukan barang lainnya.

Mahendra memang selalu memberiku barang mahal yang kalau saja dibeli sendiri pasti akan menghabiskan uang gajiku selama dua bulan. Namun, lelaki itu tidak pernah bosan membelikannya hanya untukku, padahal diriku bukanlah istrinya.

"Meta," panggil Ibu yang tiba-tiba saja muncul di balik pintu gudang.

Tentunya aku menoleh memandanginya yang tengah tersenyum ke arahku. Senyumannya tampak manis, membuatnya terlihat lebih cantik.

"Ada apa, Bu?" tanyaku, kedua tanganku begitu terampil segera membereskan barang-barang yang sedari tadi kupandangi disimpan di sudut pojok dekat lemari yang tidak lagi terpakai.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya wanita paruh baya itu, hal itu membuatku gelagapan. Tidak mungkin jika mengatakan yang sejujurnya, aku menjelajahi masa lalu dengan melihat berbagai macam barang-barang pemberian darinya.

"Aku hanya membersihkan gudang ini, lihat saja debunya ... uh sangatlah banyak." Kedua tanganku diarahkan pada beberapa posisi yang terdapat banyak sekali kotoran. Hal itu membuatku segera menutup hidung karena merasa gatal begitu debu yang terdapat di sana mulai beterbangan, lalu masuk ke dalam lubang hidung. Apa yang terjadi? Aku bersin beberapa kali membuatku mendengus pelan.

"Bukan mengenang memori lalu menyelam masa lalu kan?" tanya wanita paruh baya itu. Kulihat, matanya melirik ke arah bingkai foto yang sedari tadi kusembunyikan dengan sehelai kain.

Dia meraih bingkai itu seolah tahu apa yang tengah kusembunyikan, lalu memandangi bingkai foto tersebut sembari sesekali melirik ke arahku. Sepertinya dia merasa jengkel terhadap putrinya sendiri karena masih saja memikirkan pria tua bangka yang kutinggal pergi beberapa tahun lalu.

Tidak ingin mengungkit masa lalu lagi, aku segera merebutnya kembali dari Ibu. Bagaimana pun juga perasaanku terhadap Mahendra masih ada, maka dari itu aku akan menjaganya dari ucapan pedas Ibu. Sebelum dia mengatakan hal lainnya, lebih baik aku segera menghindar darinya.

"Maaf, Bu. Meta mau ke halaman belakang dulu." Tidak lupa aku membawa semua barang-barang yang diberikan oleh Mahendra sewaktu itu.

Di dalam kardus itu memang banyak macam-macam barang yang membuatku tersenyum miris. Nyatanya, aku pernah menjadi bagian dalam hidupnya, sangat bahagia meski pada akhirnya luka yang didapat.

Kini, aku telah sadar untuk tidak merusak rumah tangga siapa pun lagi. Mahendra dan Revan, dua orang yang membuatku mengerti apa itu kesalahan. Sudah menjadi keharusan aku membuka hati kepada lelaki lain yang memang masih lajang.

Di depan api membara aku terduduk sembari melempari satu persatu barang yang diberikan Mahendra. Aku tidak pernah menyangka jika kisah percintaanku akan serumit ini, bahkan lebih sulit untuk memecahkannya.

"Percuma kamu bakar semua itu, jika di hati kamu saja masih ada nama Mahendra, Nak."

Aku menoleh, mendapati Ibu yang tengah mematung sembari mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. Kedua mataku mulai memanas, bukan karena berada di depan api yang tengah membara, tapi perkataan Ibu ada benarnya juga.

Bagaimana bisa aku melupakan nama Mahendra bersama kenangannya yang seringkali membayang melintasi pikiranku. Aku lelah, sebenarnya sudah tidak ingin lagi bergelut dengan masa lalu yang sangat sulit untuk kulupakan.

Tidak ingin terlihat Ibu jika air mataku meluncur begitu saja dengan bebas, hal itu membuatku segera mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Besok, Ibu akan kenalkan kamu dengan seseorang. Sudahi tangismu karena Mahendra sudah bahagia dengan keluarganya."

Dadaku terasa sesak atas perkataan Ibu bagai belati tajam menusuk hatiku hingga terluka sangat dalam. Aku berusaha mencoba untuk tidak membenci siapa pun karena segala hal yang terjadi pula dikarenakan takdir.

Bagaimana mungkin aku membuka hati teruntuk orang lain jika luka di dadaku saja masih menganga, belum sembuh sama sekali.

"Mahendra tidak bahagia, Bu. Dia memilih melepaskan mereka demi aku." Aku menutup mulut dengan tangan kanan, berusaha untuk menahan tangisku agar tidak terlalu pecah memekik.

Pernyataan itu bukan berarti karena aku ingin kembali pada Mahendra lagi, tapi karena tidak ingin membuat Ibu berpikir seolah-olah bosku itu sudah sangat bahagia.

"Lalu, jika dia tidak bahagia. Apa kamu masih ingin menjadi alasannya bahagia, Meta? Sadar, Nak! Hidup dia itu karena ulah kamu. Semuanya jadi berantakan karena dirimu. Ibu tidak pernah mengajarimu seperti itu. Jika kehidupan mereka benar-benar hancur karena dirimu, itu artinya kamulah pelakor yang sebenarnya." Nada suara Ibu begitu meninggi, hal itu membuatku menggeleng pelan.

Aku menutup telingaku dengan kedua tangan. Berusaha untuk tidak mendengar ucapannya. Jujur saja, aku benci dengan panggilan tersebut. Sudah lama sekali diriku tidak mendengarnya, dan setelah tiga tahun kemudian panggilan tersebut kembali terngiang di pendengaranku.

"Aku bukan pelakor, Bu!"

Bukan hanya aku saja yang menangis tersedu, nyatanya kedua mata Ibu juga tampak menitikkan bulir bening yang kini menggenang di kedua bola matanya.

"Ibu mohon jangan ulangi masa lalu Ibu lagi, Nak." Kedua tangan wanita paruh baya itu ditangkupkan di atas dada.

Perlakuannya membuatku semakin merasa bersalah. Padahal, setelah bertemu dengan Mahendra justru hatiku kembali berbunga. Ada keinginan lagi untuk menemani di setiap hari-harinya. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin kembali padanya. Sungguh.

***
Mau cepet-cepet update ah biar cepet tamat dan lanjut bikin cerita baru lagi deh wkwk.

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang