MBSD|13|DICAP PELAKOR

1.1K 57 0
                                    

SEBELUM MEMBACA WAJIB VOTE DAN KOMEN YA. BIAR AKU SEMAKIN SEMANGAT. SELAMAT MEMBACA! FOLLOW AKUN AKU JUGA YA.

***
Kedua kakiku terasa kesemutan karena sedari tadi menunggu kendaraan yang lewat, tapi sudah beberapa belasan menit aku mematung di samping jalan tidak ada satu pun angkutan umum pun yang lewat. Memesan pada ojek online pun belum saja mendapatkan driver yang menganggur, mungkin di jam segini kebanyakan mereka mengantarkan makanan pada pemesan bagi orang yang malas keluar.

Sebuah mobil menepi di dekatku, tapi sepertinya aku tahu siapa pemiliknya. Begitu si pemiliknya keluar dari mobil ternyata dia adalah Irvan. Pria yang melihat kebersamaanku dengan Mahendra pastinya dia sudah menyimpulkan jika aku adalah wanita simpanan bosku sendiri. Apa lebih tepatnya dikatakan jika aku adalah seorang pelakor?

“Aku antar kamu sampai di depan rumah. Gimana, mau?” Pria itu menawarkan, aku ingin sekali menolak karena merasa tidak satu mobil dengan orang yang pernah menyatakan perasaannya terang-terangan, meskipun kini dia sudah menikah mempunyai kehidupan baru tetap saja aku menjaga diri agar tetap was-was jika berdekatan dengannya.

Ajakannya menjadi pertimbangan untuk keputusan yang hendak aku ambil.
Kalau pun menolak mungkin aku akan sampai larut mematung di samping jalan seperti kupu-kupu malam saja yang menunggu Om-om lewat. Bukankah kekasihku juga tergolong ke dalam kategori Om ganjen yang sudah memiliki istri juga dua orang anak? Untuk kali ini ajakannya aku terima saja daripada harus menunggu lama angkutan umum lewat.

“Nanti tarifnya aku pasti bayar kok,” ujarku begitu masuk ke dalam mobil. Dia memintaku untuk duduk di samping jok pengemudi, katanya untuk mempermudah interaksi karena dia bukanlah supir pribadiku tapi orang yang pernah hadir kemudian pergi karena kusuruh mundur menjauh dalam kehidupanku.

“Yaelah kayak sama supir angkutan umum aja, santai kali enggak usah bayar. Kalau pun memang enggak mau punya utang tinggal jadi istri kedua aja gimana?” tanyanya, alisnya naik ke atas sebelah seolah tengah menggodaku yang kini bersusah payah menelan saliva.

“Jaga perkataan kamu ya, Van.” Kedua mataku menatapnya dengan tajam, kalimat yang disampaikannya seolah-olah merendahkan diriku yang mungkin bisa dikatakan sebagai penggoda suami orang.

“Kenapa? Ada apa, Meta? Apa ada yang salah?” tanyanya, membuatku bungkam.

Pandangannya memang dia fokuskan ke arah depan melajukan jalannya, tapi mulutnya tidak bisa diam seperti perempuan saja. Aku berulang kali menghela napas untuk mengembalikan kondisi diriku seperti sebelumnya.

“Sudahlah, lupakan saja.”

“Pantas saja dulu kamu menolak aku, nyatanya kriteriamu seperti Pak Mahendra?” Pertanyaannya membuatku bungkam seribu bahasa. Tanpa diduga tanganku mengepal saking kesalnya pria itu mengatakan seenaknya, aku menolaknya memang karena tidak suka padanya bukan berarti hatiku sudah terpaut pada hatinya.

Ekor matanya melirik ke arahku seperti tengah mengintimidasiku setelah menolak perasaannya beberapa kali. Bukan berarti kriteriaku hanya pada Mahendra, tapi aku merasa jika dengannya tidak adanya keserasian di antara kami.

“Kamu jangan seenaknya berkata kayak gitu ya, Irvan!” Aku mengatakannya dengan ketegasan, tapi pria di sampingku malah terkekeh seolah menertawakan apa yang barusan kukatakan.

“Kenapa kok marah? Ada apa?” tanyanya, dia menaikkan sebelah alisnya.

“Turunkan aku di sini!” sergahku. Kalau pun aku harus berjalan kaki sampai rumah pun tidak masalah karena akan lebih baik. Telingaku akan terasa tenang karena tidak mendengarkan perkataannya lagi yang hanya membuatku kesal saja.
Irvan terkekeh-kekeh seolah menertawakanku yang kini mulai gelisah tidak tenang ingin segera keluar dari mobil miliknya. Kalau saja aku tidak memutuskan ikut dengannya memilih menunggu kedatangan angkutan umum saja mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Dia masih terus melajukan mobilnya tidak berniat untuk membiarkanku keluar dari mobilnya.

“Apa kamu tidak dengar, Irvan? Turunkan aku di sini!” Sekali lagi aku mengingatkannya, kali ini dengan nada yang lebih keras. Bersamaan dengan perkataanku itu, dia menghentikan lajunya.

“Berapa Mahendra membayarmu dalam satu malam, Meta?” tanyanya. Dia menoleh ke arahku, menatapku dengan tajam.

Aku tidak kuasa menahan emosi yang sedar tadi mendorongku untuk meluapkan semuanya. Tanganku kali ini melayang tepat pada pipi Irvan, dia telah merendahkanku seolah diriku seorang wanita yang tidak benar.

Plak!

Satu kali tamparan mendarat di pipinya, dia memeganginya mungkin terasa sakit sekali. Aku tidak peduli bagaimana rasanya. Kedua mataku memanas, tapi dengan sekuat tenaga aku menahan bulir bening yang sedari tadi mendesak keluar.
Segera kubuka pintu mobil, tapi dia menghentikan pergerakanku memegangi tanganku dengan sangat kuat. “Kalau kamu bosan dengan Mahendra, hubungi aku.”

***
Langkahku tertatih bukan karena lelah, tapi tidak sanggup lagi menghadapi hidupku yang terlalu kejam seolah menghakimi diriku dengan suatu persoalan yang menjatuhkan harga diriku. Apa seorang pelakor sama saja dengan wanita jalang? Aku menggeleng pelan menjauhkan pemikiran mengenai hal itu. Sungguh, tidak ada niat sedikit pun untuk merusak hubungan orang lain.
Sebuah mobil yang sempat kutumpangi kembali mengikuti dan kini menepi di samping jalan, mungkin dia khawatir meninggalkanku seorang diri tengah malam seperti ini atau takut kekasihnya diambil Om-om yang lain? Mahendra keluar dari mobil menghampiriku yang tengah berjalan pelan, dia membuka jas yang dikenakannya lalu mengenakannya pada tubuhku. Memang menghangatkan rasanya, tapi seharusnya dia memperlakukan hal ini pada istrinya bukan aku yang merupakan selingkuhannya.

“Jangan menyentuhku lagi,” ujarku lirih. Suaraku terdengar parau, hal itu dikarenakan sedari tadi kumenahan tangis.
“Kenapa? Apa saya menyakitimu?” tanyanya memastikan. “Maafkan aku sudah membiarkanmu sendirian di sini, pasti kamu sangat takut kan? Aku tidak mau Rangga merasakan hal ganjal. Aku sudah mengantarnya, lalu aku kembali padamu karena khawatir. Maafkan aku, sudah membuatmu kesal dan sudah lama menunggu.” Dia meraih kedua tanganku, menggenggam jemari dengan sangat kuat. Hal ini aku nikmati saja, karena terlalu terbuai dengan perlakuan manisnya.

“Tolong jangan memandang saya sebelah mata, Pak. Saya bukan wanita seperti apa yang kebanyakan orang pikirkan. Saya bukan pelakor, atau pula wanita yang enggak benar.” Kali ini aku terisak tidak kuasa untuk menahannya lagi, dia mendekap tubuhku dengan sangat erat.

“Siapa yang mengatakan hal itu?” tanyanya, pria itu tiada henti mengelus kepalaku lembut sembari mengurai rambutku.

Aku menggeleng pelan berusaha menyembunyikan segala hal, bagaimana mungkin jika aku mengatakan jika Irvan yang sudah merendahkanku. Apa yang terjadi padanya nanti jika hal itu sampaikan padanya? Mungkin, pria itu akan kehilangan kerjanya di masa pernikahannya yang masih seumur jagung. Diriku tidak sejahat itu, karena masih mempunyai hati nurani meski dia tidak sekali pun memikirkan bagaimana hatiku saat perkataan beberapa menit lalu tersampaikan dari mulutnya.

“Saya bukan pelakor, tidak berniat untuk mengganggu hubunganmu dengan Bu Anggi. Aku hanya ingin bahagia dengan pilihanku sekarang, Pak.”

***

HALLO, MASIH BERSAMA CLOVY DENGAN CERITA RINGAN DARI AKU.

ADA CERITA LAIN JUGA YANG AKAN MENEMANI KALIAN. HAPPY READING.

TERTANDA, CLOVY 💋

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang