MBSD|08|KEPERGOK BU ANGGI

1.8K 67 0
                                    

Rasanya aku ingin bersorak kala mobil yang dikendarai Mahendra terparkir di depan kantor. Aku mengelus dada sambil membatin pelan, akhirnya sampai.

Keluar dari mobilnya sama saja bebas dalam kandang macan. Sudah sering kusebutkan beberapa kali jika berdekatan dengannya sama saja cari mati. Akan tetapi, dia mencekal pergelangan tanganku dengan sangat cepat membuat langkahku terhenti.

"Kalau sekretaris itu jalannya beriringan sama bosnya. Bertahun-tahun kamu selalu berada di samping saya, kenapa dengan hari ini? Apa karena adegan tadi?" tanyanya ketus.

Pertanyaannya membuat kedua pipiku memerah. Entah penyakit apa yang kuderita akhir-akhir ini. Setelah mengalami detak jantung yang terlalu berpacu cepat, nyatanya aku juga alergi rayuan gombal dari Mahendra. Om-om ini memang sangat meresahkan, bikin hatiku deg-degan saja.

Pada akhirnya aku menyetarakan langkahku dengannya. Mencoba untuk beriringan agar tidak membuatnya marah lagi. Tentu saja aku menurut pada Mahendra karena dia bosku yang sudah seharusnya kupatuhi.

"Mau saya gandeng juga, Pak?" tanyaku dengan penuh penekanan. Barangkali dia ingin kuperhatikan.

"Tentu saja."

Tanpa berpikir lagi aku menggandeng lengannya seperti pasangan yang hendak menghadiri acara pernikahan sebagai tamu yang diundang.

Aku terus mengumpat dalam hati karena pria itu sangat menyebalkan, banyak maunya. Mahendra memang tergolong ke dalam pria genit seperti buaya darat padahal sudah tua punya anak dua, istrinya juga cantik, tapi tetap saja masih kejar cinta dari wanita lajang yang bernama Meta. Yaitu aku sendiri. Menyadari hal itu aku malah ingin tertawa, lucu saja dicintai oleh Om-om usia tiga puluh sembilan tahun yang sebentar lagi berada di puncak kepala empat.

Kami melangkah beriringan masuk ke dalam kantor sesekali Mahendra menatap ke arahku, tapi aku terus berusaha memalingkan wajah ke arah lain. Beberapa karyawan lain menyapa kami, mereka tidak akan merasa aneh melihat kedekatan kami berdua karena setiap hari memang selalu bersama. Hanya saja ada yang berbeda, kami datang beriringan dan bergandengan tangan.

"Mas ...," panggil seseorang dari arah belakang.

Panggilan itu membuat langkah kami terhenti, suaranya terdengar jelas di telingaku dan tampak familiar. Begitu aku menoleh ke sumber suara nyatanya Anggi yang tengah mematung di depan kami.

Sebelum dia melihat kami bergandengan cepat saja kulepaskan tangannya. Menjauhkan diriku dari Mahendra mencoba untuk menjaga jarak agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara kami.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Mahendra dengan suara datar. Padahal sejauh yang kutahu setiap kali dia berbincang denganku selembut sutra bahkan sangat manis membuatku selalu terpukau dengan ucapan bijaksananya.

"Ke mana saja kamu semalaman tidak pulang, Mas?" tanya Anggi.

Aku mencoba untuk bersikap biasa seolah tidak tahu apa yang terjadi. Padahal suaminya semalaman berada di dalam kamarku. Andai saja dia tahu jika suaminya akhir-akhir ini seringkali menggodaku. Apa yang terjadi kalau sampai dia mengetahui hal ini? Apakah Anggi akan menangis di depanku atau memarahiku dan memberikanku cap seorang pelakor yang artinya perebut laki-laki orang.

"Semalaman aku bersama Meta."

Jawaban seperti apa itu? Dia benar-benar sudah merusak reputasiku sebagai seorang perempuan. Apakah dia tidak bisa merasakan apa yang kurasakan saat ini? Malu sekali rasanya ingin menangis.

"Meta?" tanyanya, kedua matanya mengarah padaku yang sedari tadi
bungkam karena tidak bisa membela diri atas permasalahan yang terjadi.

"Ya dia. Kami ada urusan kantor harus bertemu dengan klien, bukankah begitu, Meta?" tanyanya, dia menatapku lekat mencoba mendesakku agar mengiyakan ucapannya.

"Iya, Bu." Aku mengangguk saja daripada kena mental. Jemariku saling bertautan terasa sangat dingin karena merasa takut jika Anggi menyangka kalau suaminya bermalam denganku tanpa adanya urusan kantor. Eh, tapi memang benar juga. Kalau saja pemikirannya mengarah negatif seperti maka tamatlah riwayatku. Apakah pekerjaanku akan hilang dalam waktu yang dekat? Aku merutuki diriku sendiri lagipula kenapa harus jatuh cinta pada bos sendiri, Mahendra pula sering merayuku sampai hatiku meleleh seperti ini.

Apa aku pamit pergi saja dari keduanya? Atau tetap berdiri di sana menunggu Mahendra selesai bicara dengan istrinya? Beberapa pertanyaan terus bermunculan memenuhi ruang kepalaku. Akan tetapi, mereka kan suami istri seharusnya aku tidak ada di antara keduanya. Bukankah itu sama saja dinamakan ikut campur dalam rumah tangga orang lain? Kuteriaki pada diriku sendiri, benar-benar kamu pelakor tidak tahu diri.

"Maaf, Bu Anggi, Pak Mahendra, saya permisi dulu ya ke ruangan saya." Sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman, sepertinya ekspresiku saat ini disebut sebuah topeng yang menutupi sifat asliku. Rasanya aku ingin menangis saat itu karena tidak kuasa menahan tangis jika saja hubunganku dengan Mahendra diketahui istrinya. Apalagi soal ciuman yang membuat dadaku berdebar tidak karuan bisa menjadi persoalan bahwa aku adalah selingkuhan suaminya.

Begitu aku hendak melangkah pergi, Mahendra menghentikannya mencekal pergelangan tanganku di depan istrinya. Jantungku bertabuh tiada henti, bagaimana bisa dia memegang tanganku di depan Anggi yang kini menatap ke tangan tangan kami yang saling bertautan.

"Hati-hati."

Kenapa harus mengatakan itu, Pak bos yang terhormat? Tidak bisakah dia berkata kasar padaku sekali saja di depan istrinya agar dia tidak mencurigai kedekatan kami yang melewati di batas wajar antara direktur dan sekretaris.

Wajahku tentu saja memanas mungkin jika melihatnya di depan cermin kali terlihat memerah seperti udang rebus. Perhatiannya begitu mencelus ke dalam kalbuku, sehingga perasaanku pada pria beranak dua itu semakin tidak wajar.

Aku membatin dalam hati, "tolong jangan selalu membuatku melting, Pak. Ingat, Meta kalau dia suami orang."

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang