MBSD|37|MASA DEPAN?

331 19 0
                                    

Happy Reading

***

Jika kebanyakan orang yang patah hati akan memilih untuk tidak membuka lagi hati atau terkadang sebagian orang juga menetapkan hatinya pada kekasih baru.

Akan tetapi, aku berbeda dari mereka yang memilih untuk mencari lagi kekasih baru. Jikalau perasaan kita masih saja tetap sama pada seseorang di masa lalu, itu artinya hanya melampiaskan kekesalan. Tidak akan kulakukan hal itu, membuatku memilih untuk menutup hati.

Bukan hanya berlaku pada orang baru saja, begitu juga dengan kekasih di masa lalu. Untuk apa kubiarkan kembali masuk, jika pada akhirnya pun akan ada hati yang terluka.

"Meta, bengong terus. Hey, jangan melamun terus dong." Tante Ratna membuyarkan lamunanku, dia terduduk di sampingku sembari menyodorkan secangkir air jahe yang masih mengepul.

Setiap kali di musim penghujan istri kedua dari ayahku memang selalu membuat minuman yang menghangatkan karena baginya tubuh perlu dihangatkan. Minuman buatannya memang selalu enak, bahkan tidak begitu menyengat sampai indera penciumanku. Dia mengolahnya sampai bau aroma jahe tersamarkan.

Aku menerimanya dengan senang hati, lalu memandangi gelas berisi minuman jahe itu yang sudah mulai berembun mungkin karena hawanya yang masih panas mengepul sehingga asapnya terus naik ke atas hingga menciptakan beberapa gelembung menempel di sekeliling gelas yang kupegang.

"Enggak, Tan. Aku cuman lagi mikir aja."

Dia menghadap ke arahku, meletakkan minuman jahe miliknya di atas meja. Tante Ratna sepertinya tertarik untuk mendengarkan ceritaku di malam ini. Apa aku ceritakan saja padanya? Bukankah kami senasib mencintai lelaki tua bangka yang tinggal hanya sekejap juga masuk liang lahat. Eh, maksudnya apa sih? Aku mendengus kesal karena ucapanku yang tidak bisa dijaga. Beberapa kali aku menepuk bibir saking sebalnya.

"Mikirin apa sih? Soal percintaan ya? Ceritanya kamu ketemu sama seseorang nih di kota baru?" tanya Tante Ratna. Dia melirik ke arahku beberapa saat, lalu segera beralih pada minuman yang sebelumnya dia simpan di atas meja.

Kalau berbincang dengan Tante Ratna itu seolah seperti pada sosok kakak sendiri karena denganku usianya juga tidak jauh beda. Hal itu membuatku lebih nyaman setiap kali curhat padanya karena selalu nyambung seperti halnya kabel listrik. Eh, kenapa aku jadi membicarakan kabel. Kumohon, pembicaraanku kali ini tidak ada unsur endorse.

Batinku seolah berperang dengan pikiran sendiri saking banyak sekali pemikiran yang begitu membuatku lelah. "Kenapa aku tidak membuka hati saja pada lelaki di kota baru? Mungkin, aku bisa memamerkannya kepada Mahendra sekarang."

Namun, aku bukan orang egois yang hanya memikirkan diri sendiri. Jikalau memang tidak mempunyai rasa hanya untuk melampiaskan segala luka, kenapa harus pada orang lain yang tidak tahu apa-apa? Bahkan permasalahannya bukan dari mereka.

"Boro-boro mikirin cowok yang di kota, Tan. Yang ada masa lalu nih." Aku mendengus kesal saat itu juga karena kepalaku seolah dipenuhi olehnya.

Kalau saja bisa, aku ingin ganti kepala saja agar di memoriku tidak ada namanya.

"Oh jadi, kamu belum bisa move on ya?" tebak Tante Ratna. Hal itu membuatku membuang napas dengan kasar. Pertanyaan darinya sangat tepat sekali, aku benar-benar tidak bisa melupakan sosok Mahendra meski pun sudah aki-aki tua bangka.

Penawaran darinya tempo hari membuatku terus saja memikirkannya. Dia mengajakku untuk kembali bersama bahkan dalam tingkatan level yang berbeda. Ya, dia mengajakku untuk tinggal bersama selamanya, mengisi cerita di sisa usia.

"Iya, Tante. Perasaanku kayaknya udah mentok deh sama dia." Aku menundukkan pandangan dengan sangat dalam.

Kuakui jika diriku sangat mencintainya, meski pun Mahendra sudah pernah menikah bahkan dikaruniai dua orang anak yang kelakuannya sudah mulai beranjak dewasa.

Entah kenapa, di antara banyaknya milyaran lelaki yang ada di dunia justru aku memilihnya untuk menjadi seorang raja dalam hatiku.

"Kalau boleh Tante kasih saran sih, kamu pilih keputusan dengan apa yang sudah bulat di hati kamu, tapi sebisa mungkin keputusan itu yang tidak akan melukai hati siapa pun." Tante Ratna mengusap punggung tanganku dengan sangat lembut.

Aku menatap jemarinya yang lentik dengan nanar. Tante Ratna memang sangat baik, kalau pun aku menjadi istrinya Mahendra pula akan sepertinya yang menjadi Ibu sambung teruntuk anak-anaknya dari istri pertamanya.

Ucapan Tante Ratna memang ada benarnya juga. Aku harus menetapkan keputusanku, apakah memang hal tersebut yang terbaik untukku? Jika tidak, maka apa pun masalahnya aku harus menanggung segala konsekuensinya dengan sabar dan tabah.

"Tapi, jujur aja ya, Tan. Hati aku terus saja tertuju pada Pak Mahendra." Aku menggigit bibir bawahku sangat kuat. Padahal, tanpa diberitahu pun Tante Ratna sudah tahu dengan isi hatiku karena bisa dilihat dari segala gerak-gerikku yang begitu menonjol jika aku memang hanya mencintai lelaki tua bangka itu.

"Nah, kan. Akhirnya ngaku juga." Aku segera menutup wajahku dengan kedua tangan saking malunya dengan apa yang dikatakan oleh Tante Ratna.

"Aneh ya, Tan. Padahal dia kan udah tua bangka kenapa aku tetap saja cinta." Kesal juga rasanya, padahal di dunia ini ada banyak sekali lelaki lajang yang usianya juga masih muda, mungkin hanya terpaut beberapa tahun saja. Akan tetapi, kenapa aku tidak berpaling pada mereka. Hatiku masih saja dirajai oleh sosok Mahendra.

"Namanya juga cinta. Cinta itu kan buta juga tidak kenal usia." Tante Ratna memang sudah berpengalaman, makanya setiap ucapan yang keluar dari mulutnya selalu saja menyentuh hatiku.

"Argh, Tante kenapa setiap ucapannya selalu benar sih." Dia justru malah terkekeh pelan, hal itu membuatku mengerucutkan bibir.

"Bukannya selalu benar, hanya saja Tante pernah berada di posisi seperti kamu saat itu."

***
Di keheningan malam, aku terduduk di dekat jendela. Menikmati pemandangan malam yang memberikan beberapa klise kenangan.

Beberapa tahun lalu, setiap malam Mahendra selalu mengajakku ke salah satu cafe ternama. Di sana kami saling menemukan rasa yang sama-sama terbalas, tapi tidak akan pernah bisa bersatu karena ada suatu tembok penghalang yang membuat kami saling membuang muka.

"Aku benar-benar merindukanmu saat itu, Pak Mahendra."

Kecupan pertama tepatnya di bagian lapisan tipis yang selalu kuberi rona warna agar tidak terlihat pucat menjadi pusat perhatian untuknya bahkan dia mendaratkan hasratnya di sana.

Pergerakannya begitu sangat cepat, hal itu membuatku segera menggeleng pelan dengan sangat kuat berusaha untuk menjauhkan segala pemikiran yang ada dalam kepala.

"Argh, kenapa harus tentang ciuman sih yang terus memutari kepalaku?" tanyaku, sembari memegangi kepala dengan kedua tangan.

"Ada Mahendra di depan halaman rumah." Bersamaan dengan ucapanku, ada suara lain yang bersumber dari Ibu. Aku segera menoleh dan mendapatinya yang tengah mematung berdiri tidak jauh dari tempatku.

Lalu, dia segera pergi begitu saja meninggalkanku dengan wajah yang kurang tidak suka.

Aku menutup mulut, mengingat ucapanku beberapa detik lalu. Apakah terdengar oleh Ibu? Atau bahkan Mahendra juga mendengarnya meski berada di depan halaman?

Dengan berat hati, pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menemuinya.

Benar saja, lelaki itu memang tengah mematung di hadapanku. Kami saling bersitatap, mempertemukan sepasang bola mata yang kini saling bertemu.

"Hai, masa depanku."

Masa depan? Kebalik kayaknya. Harusnya dia menyapaku sebagai masa lalu. Apakah Pak Mahendra ngelindur begitu aku mengingat jika malam ini sudah pukul sembilan?

***

Hullaaaaaa kembali update lagiii

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang