MBSD|15|KETEMU BU ANGGI LAGI

964 42 0
                                    

“Kamu kan pernah bilang sama Ibu enggak mau dijodohin karena udah punya. Nah, sekarang Ibu kepengin kamu mengenalkan dia sama Ibu. Boleh?”

Aku nyaris tersedak mendengar pertanyaan yang diajukan Ibu, wanita paruh baya itu pun segera memberiku segelas air putih untuk melarutkan makanan yang menghalangi tenggorokkanku. Pertanyaannya membuatku tidak mampu untuk berkata-kata, bagaimana mungkin mengenalkannya pada Ibu, sedangkan kekasihku bos sendiri yang sering antar-jemput.

“Kalau makan itu hati-hati, Meta.” Ibu kali ini mengingatkan. “Jadi, gimana? Boleh?”

Bagaimana mungkin aku mengiyakan permintaannya, karena Ibu pula sudah mengenalnya dengan baik. Saat dia menanyakan mengenai Mahendra selalu saja menjawabnya bahwa dia bosku dan aku sekretarisnya harus mengikuti ke mana pun langkahnya. Apa yang akan terjadi jika aku mengakui hubungan kami? Apakah dia akan senang karena putrinya mendapatkan kekasih kaya raya atau bersedih karena putrinya menjadi seorang pelakor dalam rumah tangga bosnya sendiri?

Ekor mataku melirik ke arah jam dinding yang berada di sebelah kanan, rupanya jarum jam masih menunjukkan pukul tujuh kurang. Aku menggerutu ingin sekali memutarkan waktu agar bisa pergi ke kantor sekarang juga. Kalau sudah berhadapan dengan Ibu sangat sulit untuk menghindar, atau pun beralasan saat banyak pertanyaan yang menimpaku.

Tidak lama kemudian suara deru mobil terdengar sumbernya dari pekarangan depan rumah, aku menghela napas pelan begitu mobilnya tampak saat kulihat lewat jendela. Mahendra akhirnya datang menjemput juga, dia telah menyelamatkanku dari banyak pertanyaan yang pasti sulit untuk kujawab.

“Masa iya kekasihmu bos sendiri.” Ibu benar-benar berhasil membuatku jantungan saja, mungkin setelah pulang bekerja aku harus segera memeriksakannya ke Rumah Sakit terdekat. Nyatanya buka Mahendra saja yang selalu pandai membuat jantungku nyaris keluar dari tempatnya, tapi nyatanya ibuku sendiri bisa melakukan hal itu.

“Enggaklah, Bu. Pak Mahendra kan udah punya istri.” Aku mengingatkannya agar tidak lagi menanyakan hal yang aneh lagi.

“Jangan jadi pihak ketiga ya, Nak. Ibu tahu bagaimana rasanya berada di pihak pertama sangat sakit sekali. Semua itu terjadi karena orang ketiga.” Ibu menepuk bahuku pelan. Tidak sekali atau dua kali dia memberiku nasihat seperti itu, tapi beberapa kali Ibu selalu saja mengingatkan putrinya.

Kedua mataku mulai memanas karena tidak bisa menuruti nasihatnya, aku sudah mengkhianatinya bermain di belakangnya dengan suami orang yang bahkan sudah dikarunia dua orang anak. Berbeda dengan Ibu dulu yang sangat terpukul ditinggalkan Ayahku, pria itu lari dari tanggung jawabnya begitu saja meninggakan keluarga keilnya yang sangat membutuhkannya. Ibu sosok wanita tangguh yang tidak pernah mengenal lelah demi mengais rezeki untuk biaya kebutuhan sehari-hari.

“Ibu aku pamit berangkat ya. Pasti Pak Mahendra sudah sedari tadi menunggu.” Aku mengarahkan jari telunjuk pada jendela yang menampakkan sosok Mahendra yang tengah berdiri di depan mobilnya.

“Oh iya, lagian kenapa enggak disuruh masuk aja dulu sarapan bareng kita?” tanya Ibu, dia memang selalu bersikap ramah pada siapa pun apalagi pada Mahendra yang merupakan bosku di kantor.

“Pastinya dia udah sarapan dong, Bu. Dia kan punya istri yang pintar masak.” Aku tahu Bu Anggi itu pandai memasak karena Mahendra seringkali membawa bekal atau kadang istrinya yang datang membawakan pada jam istirahat.

Ibu akhirnya mengangguk pelan seolah memahami apa yang aku sampaikan, segera saja aku berpamitan untuk pergi ke kantor karena akan meeting dengan klien. Aku tergesa menemui Mahendra yang tampaknya sudah kesal menunggu.

Hari ini dia mengenakan kemeja berwarna putih tanpa jas yang biasanya dia kenakan, terkesan sangat memukau dan tampan. Kenapa pemandangan pagi ini sungguh indah, Ya Rabb? Mengingat dia suami orang membuatku beristigfar berkali-kali, tapi dia juga kekasihku wajar saja jika kedua matanya memandanginya tanpa berkedip.

“Kenapa lama sekali?” tanya Mahendra, melihat wajahnya yang kesal aku malah terpesona karena dia terlihat menggemaskan meski sudah beranak dua.

“Sarapan dulu bareng Ibu, Pak.”

“Kenapa panggilannya masih itu?” tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah.
Aku menggigit jari telunjuk saking tidak tahan memandangi wajahnya yang tampak memesona semakin hatiku terpikat saja, sulit untuk keluar dari zona nyaman meski pun aku sadar dia tidak seharusnya menjadi kekasihku.

‘Terus apa dong?” tanyaku, entah kenapa aku selalu ingin bermanja kala di sampingnya.

“Apa aja. Sayang juga boleh biar kayak anak muda.”

Sayang? Biar kayak anak muda? Aku menahan diri agar tawaku tidak lepas begitu saja. Bukankah aku memang masih muda? Usia dua puluh enam tahun yang seringkali ditanyakan kapan nikah sama keluarga bahkan tetangga sampai ibunya kelimpungan menilik satu-persatu putri sahabatnya saat reuni barangkali saja ada wanita yang serasi untuk putranya.

Sembari melajukan perjalanan menuju kantor Mahendra memutar lagu dngan nada mellow mungkin karena hatinya pun sedang merasakan hal yang sangat sulit untuk dia tebak. Kalau menurutku seperti itu.

“Kalau gitu panggil Mr. Mahendra aja ya?” tanyaku memastikan.

“Terserah kamu deh, Sayang.” Mahendra mengusap kepalaku dengan sangat lembut. Aliran darah terasa hangat begitu tangan aku dan dia saling menjabat tangan.

Aku terkekeh mendengar jawabannya yang begitu pasrah, pria itu memang menggemaskan pantesan saja aku semakin jatuh hati padanya tidak peduli bagaimana istrinya di rumah. Satu hal yang pasti aku bisa menikmati kebersamaan ini dan dapat mengetahui arti rasa yang sesungguhnya.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit pada akhirnya kami sampai di depan gerbang, begitu kami keluar dari mobil beberapa pasang mata menatap kami tidak suka.

‘Ngapain kamu di sini?” tanya Mahendra pada wanita yang sedari tadi mematung di depannya.

“Ke mana aja, Mas? Kok baru sampai?” tanya sang istri membuatnya bungkam seribu bahas

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang