MBSD|17|PERJODOHAN

812 42 0
                                    

Follow akun author dulu ya. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian.

***
Mendengar kata ‘Menikah’ membuatku terkikik geli saking gemasnya membayangkan menjadi istri orang apalagi dengan pria yang kita idamkan, tapi mengingat sosok yang kuinginkan sudah menjadi milik wanita lain malah membuat dadaku terasa sesak. Rasa ingin memiliki semakin menjadi bahkan harapan menggenggam jemarinya menuju ke pelaminan sangat kunanti.

Mahendra memang sudah mengajakku untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, tapi apa yang terjadi jika hal itu kulakukan? Akan ada hati yang rapuh bahkan remuk tidak lagi berbentuk. Siapa lagi jika bukan Bu Anggi dan kedua anaknya.

Aku memandangi foto kekasihku yang tersimpan dalam memori ponselku, di sana dia terlihat tampan apalagi melihatnya langsung. Dia mengenakan kemeja putih tapi tidak membuat kulitnya saling bertumpangan karena warna kulitnya sepadan dengan pakaian yang dikenakannya. Di sana dia menyunggingkan senyumannya sangat manis.

“Teman Ibu ada yang mau berkunjung ke rumah, dia juga bawa anaknya.” Aku dikejutkan dengan kedatangan Ibu yang tiba-tiba datang, ponsel yang menampilkan foto Mahendra kusembunyikan di balik bantal. Ya, aku memang tengah merebahkan diri di dalam kamarku. Pintunya memang dibiarkan terbuka, membuat Ibu leluasa masuk.

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Mau bagaimana lagi karena yang datang teman Ibu bukan tamuku.

“Ibu mau kamu izin kerja dulu sehari,” ujar Ibu. Dia mendudukkan dirinya di sampingku, posisinya kami saling berhadapan.

Izin kerja? Itu artinya aku enggak akan bertemu Mahendra, dia juga akan merasa repot saat di kantor karena sendirian. Ketakutanku pria itu akan berpaling pada yang lain, padahal aku hanya selingkuhannya. Apalagi istrinya yang setiap hari di rumah, tapi dia tidak merasa takut jika suaminya diambil orang.
“Aku kan seorang sekretaris, Bu. Mana bisa izin tinggalin bosnya.”

Ibu menghela napasnya pelan.”Bos aja kamu terus yang diurusin, kalau kayak gitu terus kmu kapan nikahnya, Meta?”

Kalau soal menikah itu gampang tinggal merengek pada Mahendra pasti dia akan mengabulkannya mempersiapkan pernikahan yang sangat mewah. Akan tetapi, permasalahannya soal restu dari istri pertama juga anaknya barangkali mereka enggan menyetujuinya. Tentu saja, mana ada seorang istri yang mengiyakan suaminya menikah lagi dengan pelakor.

“Kalau memang udah waktunya pun pasti nikah, Bu.” Aku menjawabnya dengan santai. Toh, benar kan kalau urusan jodoh itu sudah ada yang mengatur.

“Ya kalau enggak ada usaha kenalan sama laki-laki gimana ada yang mau nikahin kamu.” Ibu menggeleng pelan, mungkin karena sudah lelah menghadapi sikap putrinya yang tidak pernah berubah sepanjang masa. Selalu saja menganggap santai meski di usianya yang sudah menginjak dua puluh enam.

Kalau saja aku berani mengatakannya, akan kubisikan pada Ibu jika di hatiku sudah ada nama yang seharusnya tidak kusematkan di sana. Dia sudah milik orang, tapi aku malah ingin merebutnya. Dasar Meta pelakor! Aku menjerit dalam hati, tentu saja tidak akan terdengar oleh Ibu.

“Udah ah, Bu. Jangan bahas lagi soal itu.”

***
Mahendra berkali-kali mengirimiku pesan, padahal nanti juga kami akan bertemu. Katanya hari ini dia tidak akan menjemput karena harus mengantarkan putrinya yang manja. Aku mengiyakan saja lagipula masih banyak ojek online yang bisa kupinta untuk menjemput asalkan setelah sampai dibayar sesuai yang tertera di atas layar ponselku.

Ibu sedari tadi mondar-mandir seperti tengah menunggu seseorang yang hendak melahirkan, aku menggeleng pelan saking gemasnya melihat tingkah ibuku yang selalu saja sibuk apalagi jika mengurusi soal jodohku. Padahal soal itu sudah ada yang mengatur, tapi tetap saja dia bersikeras menjodohkanku dengan anak dari temannya.

Sebuah mobil menepi di pekarangan rumahku, dahiku mengernyit memastikan jika itu bukan Mahendra. Tampaknya Ibu sedari tadi menunggu kedatangan tamunya, dia segera menghampiri saat wanita paruh baya seusianya keluar dari mobil. Seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang melakukan ritual pelukan juga bersentuhan pipi kanan-kiri.

“Ayo masuk ke rumahku. Kebetulan Meta masih di rumah belum berangkat kerja.” Ibu mempersilakannya. Tidak lama, seorang pria berperawakan tegap keluar dari mobil mewah itu dan mengikuti langkh keduanya. Aku kembali menutup gorden yang sempat kusingkap karena sudah mengintip.

Mereka bertiga memasuki rumah, Ibu mempersilakannya duduk di sofa. Dia juga menyuguhi beberapa aneka makanan yang berupa olahan sendiri dan hasil tangan orang lain berkatnya beli di warung Bi Popon.

Aku yang sedari tadi mematung di dekat jendela seperti patung pakaian yang biasanya dipamerkan oleh setiap toko segera berpindah posisi. Kali ini dekat pintu, karena sudah waktunya berangkat ke kantor.

“Itu anak kamu?’ tanya wanita berhijab maroon yang kini sudah terduduk di sofa.

“Iya, anakku satu-satunya,” jawab Ibu. “Meta sapa dulu teman Mama dong.”
Aku berusaha tersenyum dan bersikap ramah pada wanita paruh baya itu, dia pula memandangiku dengan tatapan penuh kasih sayang. Padahal kami baru saja bertemu, tapi dia seolah sudah lama mengenalku. Wanita itu juga mengusap rambutku yang dibiarkan terurai karena Mahendra lebih setuju dengan penampilanku seperti ini.

“Kenalin anak Tante, namanya Revan.” Aku pun melirik pria di sampingnya yang tidak ada senyumannya sedikit pun. Kulitnya putih, hidungnya juga seperti pinokio, bulu matanya lentik pula alisnya tebal. Ada kumis juga yang tumbuh di atas bibirnya, dan jakun yang hanya beberapa helai di bagian dagunya. Kalau dilihat-lihat dia memang lumayan tampan, tapi hatiku tetap menomorsatukan Mahendra masuk ke dalam kategori pria paling tampat menurut versiku.

“Revan, ayo kenalan dulu dong sama Meta.”

Pada akhirnya pria itu mengulurkan tangannya berniat untuk berjabat tangan, aku pun membalas ulurannya karena tidak mau juga dianggap perempuan yang sombong. Beberapa saat kami saling berjabatan sembari mengatakan nama masing-masing.

Dia tetap saja tidak tersenyum sedikit pun, padahal sedari tadi aku sudah berbaik hati melemparkan senyuman manis meski sebenarnya merasa terpaksa. Senyumanku mahal mungkin hanya pada Mahendra saja lengkungan bibir itu selalu merekah.

Setelah usai sesi perkenalan, aku segera melepaskan jabatan tangan karena melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh. Itu artinya aku terlamnbat. Pasti Mahendra menungguku yang tidak saja datang.

“Bu ... aku berangkat dulu ya. Udah telat.”

“Izin aja dulu sehari, Meta.” Ibu menyarankannya.
“Enggak ah, Bu.” Tentu saja aku menolaknya. Mana bisa aku tidak bertemu dengan Mahendra.

“Kerja keras sekali ya anak kamu.” Wanita paruh baya itu terus saja memujiku, tubuhku nyaris terbang ke awang-awang.

“Iya nih. Kerjanya rajin namanya juga sekretaris.” Ibu menimpali, dia memang sangat bangga mengatakan pekerjaanku pada teman-temannya maupun tetangga.

“Bosnya pasti senang punya sekretaris kayak anak kamu, kerja keras banget soalnya.” Terus saja dipuji, membuatku ingin terbang saja ke angkasa.

Aku menyalami mereka karena tidak akan ada beresnya jika terus meladeni perkataannya. Teman Ibu kembali mengusap lembut kepalaku dengan penuh kasih sayang. “Revan antarkan Meta ke kantornya ya.”

“Enggak perlu, Tante. Aku nanti pesan ojek online aja.”

Pria yang sedari tadi diam saja kini bangkit dari duduknya.”Biar saya yang antar.”

Aku merutuki nasibku di hari ini karena hendaak diantar olehnya, bagaimana jika Mahendra melihatnya? Apa yang akan dia katakan nanti?

***
Stand by di sini yaaa. Maaf, tiga hari gak up. Dikarenakan author sedang menulis kisah yang lain lagi. Cerita ini tentunya akan selesai dong karena sudah tamat hihi.








MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang