MBSD|21|BUKAN PELAKOR

755 36 1
                                    

“Lalu, apa yang kamu inginkan jika tidak ingin berpisah dariku, Anggi? Ingin dimadu?” tanya Mahendra dengan tegas.

“Aku tidak akan membiarkan wanita itu merebutmu dariku, Mahendra!” sergahnya. Kedua matanya menatapku dengan tajam. Dia mengatakan hal itu dengan sangat keras hingga mendatangkan beberapa tetangga yang tidak sengaja lewat. Tiga orang wanita paruh baya menyaksikan perdebatan ini, mungkin mereka dapat menyimpulkan jika perseteruan ini terjadi antara istri pertama, suaminya dan seorang pelakor.

“Apapun yang terjadi aku akan tetap berusaha memiliki Meta!” sergahnya. Dia berkata tegas, suaranya pula keras seolah tidak ingin tersaingi istrinya.

Ibu kembali menyaksikan berada di belakangku hanya mengintip, aku tahu dia malu karena ada tiga tetangga yang behasil menyaksikan kejadian ini. Mungkin, setelah ini Ibu tidak akan berani belanja ke warung Bi Popon karena telinganya pasti akan terasa panas harus mendengarkan berita yang tidak sedap mengenai putrinya sendiri. Aku tahu itu, Bu. Ibu sakit hati karena sudah gagal mendidikku, padahal wanita itu tidak mengajariku menjadi sosok wanita sadis yang memisahkan pasangan harmonis pula anak-anaknya.

“Aku tidak akan pernah rela, Mas!” sergahnya lagi. “Gara-gara pelakor ini sudah merusak segalanya bahkan mental anak-anak juga.”

“Dia bukan pelakor. Soal anak-anak biar aku yang urus.” Mahendra masih saja menjawabnya dengan tegas.

“Apa katamu? Kamu yang urus, Mas? Ke mana saja kamu selama ini? Inggit sakit karena merindukanmu yang tidak saja pulang ke rumah, lalu Rangga pergi entah ke mana karena tidak ada penegasan dari ayahnya. Apa yang akan terjadi pada mereka? Masa depannya tidak akan seindah yang dibayangkan karena terus dihantui dengan rasa kekesalan pada ayahnya sendiri” Bu Anggi terisak menangis sepertinya dia mengingat kedua anak-anaknya yang sangat membutuhkan kasih sayang orang tuanya.

Mendengar perkataan Bu Anggi membuat ingatanku kembali pada beberapa tahun lalu di saat ayahku pergi memilih wanita lain, memutuskan hubungan dengan ibuku. Aku merasakannya saat itu sangat sakit sekali dan seolah duniaku tiada harapan indah. Ada rasa iri pada teman-teman sebayaku yang masih mendapatkan perlakuan dan perhatian lebih dari orang tuanya, sedangkan aku hany bisa menangis di pojok kamar sembari memandangi foto saat keluargaku masih utuh.

Apa aku setega itu membuat dua orang anak kehilangan kebahagiannya karena ayahnya kurebut dengan paksa dari ibunya? Apa aku tega menjadikan wanita di depanku sosok janda karena suaminya direbut wanita lain yaitu aku. Padahal aku dan ibuku pernah berada di posisi mereka sangat terpuruk dengan keadaan yang membuat hidup kami berantakan. Ibu seringkali menasihatiku jika aku tidak boleh mengulang masa-masa sulit dalam hidup, tapi aku malah menyulitkan hidup orang.

“Hentikan!” sergahku dengan tegas.

Mahendra pula Bu Anggi memusatkan ke arahku menjadi perhatian mereka, memandangiku yang kini menggenggam jemari dengan gemetar. Masa laluku yang kelam kembali menghantui seolah tidak ingin pergi dalam hidupku. Sudah berulangkali aku mengusirnya, tapi kembali lagi membuatku hanya bisa menangisi kisahku yang tidak seindah kebanyakan orang. Lalu sekarang, kata pelakor sudah mendarah daging dalam jiwaku membuatku kesulitan tidak bisa menghentikannya.

“Hentikan! Selesaikan permasalahan kalian di rumah, tolong jangan membuat keributan di rumahku.” Aku menangkupkan kedua tangan, hal ini kulakukan agar mereka mengerti dalam situasiku. Tentu saja aku tahu ada beberapa pasang mata yang melihat kejadian ini bahkan menertawakannya, hal ini akan membuatku malu apalagi Ibu.

“Aku menginginkanmu, asal kamu tahu itu, Meta!” sergahnya lagi.

Kepalaku terasa pening pada akhirnya memutuskan masuk ke dalam rumah meninggalkan keduanya. Aku bersandar di balik pintu sembari memejamkan mataku yang terus berjatuhan air mata. Ibu hanya memandangiku, dia juga terlihat sangat bersedih karena tampak dari matanya merah padam sepertinya dia menahan tangisannya agar tidak membuatku merasa semakin bersalah.

Kuakui jika semua kejadian ini memang murni kesalahanku menyukai bos sendiri yang sudah berkeluarga. Ada istri dan dua orang anaknya yang menunggu kepulangannya dari kantor, tapi aku malah menghabiskan waktu bersamanya di tempat romantis seperti kebanyakan pasangan yang mendatangi tempat itu.

Kalau saja aku lebih menahan diri dengan godaan Mahendra mungkin kata ‘Pelakor’ tidak akan tersemat dalam diriku. Bahkan tetanggaku masih mengenaliku sebagai perawan yang terus memikirkan karir seolah melupakan perihal pernikahan bahwa sesungguhnya semua orang berpasang-pasangan. Akan tetapi, kali ini mereka tahu alasan aku belum menikah di usia dua puluh enam karena jatuh hati pada suami orang. Tentu saja, kalau hendak menikah dengannya harus mendapatkan keikhlasan dan restu dari istri pertama. Lalu, sekarang? Bu Anggi saja murka saat mengetahui semuanya.

“Bu ...,” panggilku pada wanita paruh baya yang tengah mematung berdiri tidak jauh dari jarakku.

Ibu memalingkan wajahya ke arah lain, lalu dia melangkah pergi begitu saja. Sikapnya yang kini berubah membuatku berpikir keras, apa yang harus kulakukan? Tentu saja Ibu merasa gagal mendidikku menjadi seorang wanita yang malah merusak hubungan rumah tangga lain. Padahal dia tidak mengajariku seperti itu, aku merasa sangat bersalah karena sudah menyakiti hatinya.

“Apa aku harus menyudahi kisah ini? Berhenti menjadi sekretaris Pak Mahendra?” tanyaku pada diri sendiri.

Aku benar-benar dilema karena mendapatkan pekerjaan itu tidak mudah, setelah keluar di sana lalu aku akan memperoleh uang dari mana? Mengingat Revan yang sempat menawariku bekerja di kantornya membuatku bertekad bulat untuk melampirkan surat pemberhentian menjadi sekretaris Mahendra.

“Semoga keputusanku lebih baik.”

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang