Resepsi pernikahan sudah mulai sepi ketika waktu menunjukkan pukul delapan malam. Dihelatnya acara yang memang lebih awal memang menguntungkan Martha karena tidak harus begadang demi menjual senyum bahagia pada para tamu yang memberi ucapan selamat serta doa agar langgeng hingga akhir hayat. Hah, bullshit!
Sudah sejak lima belas menit lalu Yugo menghilang, meninggalkan Martha sendirian, entah karena apa. Lagipula Martha juga tak peduli sama sekali. Mau berselingkuh kek, mau seks dengan perempuan lain kek, Martha tak mau ambil pusing pada si brengsek satu itu.
Dan karena dorongan rasa lapar yang merongrong perutnya, Martha akhirnya memilih turun dari singgasana nya setelah nyaris beberapa jam ia tempati dengan senyum manis bak putri Indonesia. Ia akan menuju stan makanan, mencari sisa makanan, apa saja, demi meredakan rasa laparnya saat ini.
Namun baru hendak turun dari singgasana, langkahnya terhenti dan terhalangi oleh sosok Yugo yang rupanya kembali dengan membawa sepiring makanan.
"Mau kemana?"
"Minggir."
"Jawab dulu, kamu mau kemana?"
Martha memutar bola matanya jengah. "Mau ambil makanan. Aku laper." Terangnya singkat.
"Lho, ini aku udah ambil makanan. Ngapain masih nyari?"
Martha tersenyum tipis. "Dan harus sepiring berdua sama kamu? Nggak deh makasih."
Yugo menatap Martha dan lantas menghela napas panjang. "Kalo kamu nggak mau sepiring berdua sama aku, kamu makan aja ini. Aku bakal ambil lagi."
"Aku yang bisa ambil sendiri. Kamu makan aja makanan kamu." Tolaknya lagi dan mencoba menggeser Yugo dari hadapannya.
"Martha, jangan melawan!" Desis Yugo hilang kesabaran karena perangai Martha yang dinilainya terlalu kekanakan.
"Kamu yang apaan! Apa bahkan setelah kamu ngerampas hidupku, kamu juga berpikir bisa ngerampas kebebasanku, bahkan dalam hal memilih makanan sekalipun?" Tekan Martha sekuat mungkin. "Kamu salah, Yugo. Kalo kamu pikir kamu bisa mengontrol aku semaumu, kamu salah besar karena Martha Ananda yang dulu sudah mati, dan Martha Ananda yang ada di depan kamu bukan lagi sosok yang sama." Desis Martha sinis. "Minggir, sebelum aku teriak dan bikin kamu serta keluargamu malu karena ulahku."
"Jangan lupa, keluarga kamu juga bakal malu kalo sampe...."
"And I don't fucking care! Keluargaku udah mati, tepat di mana mereka melupakan harga diri dan juga kebahagiaanku."
Yugo mengumpat tertahan. Apa yang Martha bilang memang benar. Martha bukanlah Martha yang dulu. Sekarang, gadis di hadapannya ini sudah berubah tangguh dan juga tidak ragu menyingkirkan hal apapun yang menghalangi kebahagiaan dan kebebasan dirinya. Lantas dengan sangat terpaksa, Yugo kemudian menyingkir, memberi akses jalan bagi Martha yang bahkan sedikit kesusahan berjalan karena gaunnya yang memiliki ekor cukup panjang dan besar.
Martha luar biasa senang. Ini baru awal, dan ia sudah mampu menampar balik Yugo untuk memberinya kebebasan. Ia benci melihat sikap Yugo yang sok peduli di hadapan orang-orang. Cih, sekali brengsek tetaplah brengsek.
Mencoba menepis pikirannya tentang perdebatan mereka tadi, Martha lantas celingukan mengamati menu yang masih tersisa di stan makanan. Menu nya masih cukup lezat. Zuppa soup masih tersisa, sambal printil juga masih ada, ditambah beberapa potong garlic bread dan juga galantin asam manis sudah cukup mengenyangkan perut nya malam ini.
Tangan Martha lantas dengan cepat memindahkan menu tersebut ke atas piring makan beralaskan nampan cantik untuk membawa serta zuppa soup nya menuju ke meja tamu yang sudah kosong. Dengan lahap Martha menyantap makan malamnya, mengisi amunisi untuk bersiaga jika saja nanti ia akan kembali berdebat dengan suaminya.
"Martha, selamat ya sayang." Di tengah keseriusannya makan, Martha dipaksa menghilangkan nafsu makannya kala Ibu dari Yugo justru menyambanginya dan malah memberinya selamat.
Martha hanya mengangguk singkat dan kembali menekuri makanannya. Namun sepertinya, Ibu Yugo ini tidak peduli akan keengganan Martha akan kehadiran wanita bersanggul modern tersebut.
"Lho, itu Yugo makan di sana, kok kamu malah makan di sini?"
"Memang nya kenapa? Nggak boleh?"
Ibu Yugo berdeham ketika tanggapan dari Martha cukup terasa ketus meski malam ini statusnya baru resmi menjadi menantu. Tapi Ibu Yugo sangat memaklumi hal itu. Biar bagaimanapun, dulu putranya pernah menorehkan luka untuk Martha, jadi rasanya sangat wajar jika Martha sampai seketus ini, meski pernikahan kali ini terlaksana juga sedikit banyak karena permohonan Mama Martha sendiri.
"Bukan nggak boleh sayang, cuma kaget dan agak aneh aja. Suaminya di mana, istrinya di mana." Kekeh Ibu Yugo berusaha mencairkan suasana kaku di antara mereka.
"Nggak ada yang aneh di jaman modern ini kok Bu. Lagipula buat apa makan cuma buat biar di pandang nggak aneh tapi ujung nya malah ngerepotin diri sendiri? Yugo juga udah besar, nggak perlu di suapin lagi kan kalo makan?"
Ibu menutup bibirnya, bingung bagaimana cara mendekatkan diri dengan menantunya. Dulu mereka pernah sedekat nadi, namun semua berubah setelah Yugo memutuskan untuk pergi meninggalkan Martha tanpa kata.
"Maksud Ibu bukan gitu, nak. Jangan salah paham ya." Bujuknya lagi. Namun Martha menggeleng pelan. Jemarinya mendorong piring kosong yang isinya sudah berpindah ke dalam perutnya.
"Aku nggak mau menyakiti Ibu sama kata-kataku, tapi aku cuma mau bilang ke Ibu, aku bukan lagi sosok Martha yang sama dengan yang dulu. Jadi sebisa mungkin, jangan terlalu banyak berinteraksi sama aku. Aku nggak mau menyakiti Ibu atau siapapun lewat ucapanku, Bu. Aku juga secara personal minta maaf karena Mama udah merendahkan diri buat minta Yugo menikahi perawan tua sepertiku, secara nggak langsung merampas kesempatan Yugo buat dapat menantu terbaik untuk Ibu dan juga Ayah."
Ibu menggeleng dan mencoba meraih jemari Martha. "Sayang, Ibu mohon, jangan berpikir seperti itu ya. Ibu cuma mau dan berharap kamu dan Yugo bisa selalu bahagia dan bersama-sama membangun biduk rumah tangga. Ibu yakin kalo Yugo adalah pilihan terbaik buat kamu, nak. Lupakan kesalahan Yugo di masa lalu, karena bagi Ibu, kamu adalah perempuan terbaik untuk jadi pendamping Yugo sekaligus menantu Ibu. Ya nak? Mau ya? Ibu mohon."
Martha merintih dalam hati. Tadi Mama nya, sekarang mertuanya yang selalu mengklaim kalau semua ini yang terbaik baginya. Sebetulnya, seperti apa sih definisi terbaik menurut para orangtua? Kenapa di sini seakan-akan Martha lah yang harus banyak bersyukur karena dirinya dinikahi oleh lelaki kaya raya macam Yugo?
"Seandainya melupakan bisa semudah membalikkan telapak tangan, tentu aku sangat senang karena bisa lepas dari belenggu benci ini sepanjang hidupku, tapi sayang nya, kebanyakan orang hanya bisa memberi wejangan tanpa pernah tahu bagaimana rasanya jadi si korban tersebut, seperti sekarang ini. Iya kan Bu?" Dan Ibu hanya bisa mengatupkan mulut dengan mata yang menerawang jauh.
BERSAMBUNG
15.11.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Engkau Menyapa
ChickLitMartha tak pernah sekalipun menduga kalau ia akan kembali di persatukan oleh sang mantan brengsek yang dulu pernah menorehkan luka mendalam di hatinya. Dan parahnya, kali ini ia harus bertahan dalam status pernikahan, bersama si lelaki pengkhianat y...