Rumah Yugo berjarak cukup jauh dari hotel tempat mereka menginap beberapa malam lalu. Rumah bergaya modern itu tampak megah dibalik pagar besi tinggi yang terpoles warna gold.
Martha sesungguhnya tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Tinggal bersama Yugo di rumah lelaki itu, hanya berdua, benar-benar beban untuknya. Bagaimana bisa ia nantinya berinteraksi setiap hari dengan sang suami? Ia yakin, hanya akan ada canggung di antara mereka alih-alih kemesraan ala-ala pengantin baru pada umumnya.
Pagar terbuka otomatis ketika Yugo menekan tombol di remote kontrol yang lelaki itu bawa. Halaman luas nan hijau menyambut netra Martha dengan puluhan bonsai indah yang ia yakin berharga fantastis.
Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya yang tersenyum dan membantu memindahkan barang-barang bersama seorang gadis muda entah siapa.
"Selamat datang, Nyonya. Perkenalkan, saya Mbok Nah, dan tadi anak saya, Delima. Saya dan Delima yang bantu-bantu di rumah ini.
Martha tersenyum membalas sapaan Mbok Nah. "Saya Martha, Mbok. Semoga Mbok bisa tahan sama saya ya. Saya orang nya galak dan nggak suka basa basi."
Mbok Nah mengangguk dan menyilakan tuan dan nyonya nya masuk, sedangkan dirinya menuju ke dapur membuatkan teh hangat. Yugo yang sejak tadi hanya diam melihat interaksi Martha kini mencekal lengan istrinya saat akan membuka pintu sebuah ruangan.
"Kamu mau apa?"
Martha memutar bola mata. "Aku mau istirahat. Lepas." Tukas nya ketus.
"Kamar kita bukan di sini. Kamar kita ada di lantai dua." Terang Yugo menahan geram. Martha masih saja defensif, bahkan berpikiran akan berpisah kamar setelah status mereka resmi sebagai sepasang suami istri. Hah, yang benar saja.
"Tunggu, emang nya aku bilang ya kalo aku mau sekamar sama kamu? Aku nggak bisa dan nggak mau sekamar sama kamu!"
Yugo tak peduli. Dengan cukup kasar, ia menyeret lengan Martha agar mengikuti langkahnya meniti tangga, menuju kamar mereka. Martha merintih ketika kakinya nyaris terperosok meniti tangga kala dirinya berupaya memberontak dari cekalan sang suami.
"Lepas. Sakit." Rintihnya. Yugo menutup pintu kamar mereka, mendorong Martha hingga terjerembab ke atas ranjang, sedangkan Yugo mengunci pintu dan membuang kunci nya sembarangan.
Martha menatap lengannya yang nyeri, dan mencetak merah bekas cengkeraman Yugo. Lihat, bahkan mereka baru menikah beberapa hari, namun perbuatan tak pantas ini sudah ia dapatkan dengan mudah, hanya karena keinginan lelaki itu yang tak selaras dengan keinginan Martha.
Yugo melihat Martha yang mengusap bekas cengkeramannya. Lelaki itu menyesali perbuatan kalap nya yang berujung menyakiti Martha, lagi. Menghela napas panjang, Yugo lantas membuka laci nakas, meraih salep memar dan segera meraih tangan Martha tanpa aba-aba.
"Aku bisa sendiri." Tolak Martha pelan, namun lagi-lagi Yugo tak ingin menggubris penolakan yang istrinya layangkan.
"Aku tau kamu perempuan mandiri dan hebat, tapi biarin aku yang kali ini obatin kamu, karena ini juga hasil ulahku." Timpal Yugo pelan dengan jemarinya yang telaten mengoleskan salep menggunakan cotton bud ke atas memar kemerahan di lengan Martha.
Keduanya diam, membiarkan hening mengisi mereka sampai Yugo hampir selesai mengoleskan salep ke lengan Martha.
"Aku mohon, jangan terus-terusan tolak aku, Mar. Biar bagaimanapun, sekarang aku suami kamu. Nggak dibenarkan kalo kamu menolak aku seolah aku adalah penyakit menular seperti ini." Terang nya lembut. Martha bungkam. Bingung harus membalas apa lagi pada Yugo yang seolah tak memiliki beban apapun pada masa lalu mereka.
Yugo membereskan peralatan sekaligus salep yang digunakan untuk mengobati Martha. Namun bukannya enyah, lelaki itu malah kembali mendudukkan bokong nya dan meraih jemari Martha lembut, namun erat. "Aku tau masa lalu kita benar-benar menyakiti kamu. Tapi yang kamu perlu tau, aku juga sama terluka nya seperti kamu, Mar."
Netra Martha menatap Yugo remeh. "Kamu terluka? Aku rasa nggak. Bukannya kamu sendiri yang memilih buat meninggalkan aku waktu itu? Kamu tau seberapa kecewa dan sakit nya aku waktu tau kamu nggak ada kabar, sedangkan keluarga kita udah saling membahas rencana pernikahan? Bahkan sudah ada beberapa yang mulai dicicil sedikit demi sedikit. Tapi kamu malah hilang. Pufff, layaknya buih, dari kehidupanku."
Yugo menatap lekat wajah Martha yang memerah menahan tangis. Sungguh, kalau saja seandainya bisa bertukar posisi, Yugo lebih memilih untuk menjadi Martha, agar dirinya saja yang merasakan luka, bukan Marthanya.
"Kalo aja waktu bisa di putar dan kita bisa bertukar posisi, aku lebih milih terluka ketimbang kamu yang harus terluka, Mar." Bisik Yugo tercekat.
"Ck, kamu yakin? Kalo kita tukar posisi, aku yakin kamu pasti bakal balas dendam ke aku, membenci aku, bahkan keluargamu juga akan menyumpah serapahi aku dan keluargaku." Ejek Martha yakin. "Tapi lain hal karena yang mengalaminya aku dan keluargaku. Hanya aku yang benci sama kamu, tapi nggak dengan keluargaku. Mereka justru memohon sama kamu, layaknya pengemis agar kamu mau menerima perawan tua nggak laku kaya aku."
Yugo menggeleng, tak senang mendengar ucapan Martha yang seolah-olah menghina dirinya sendiri. "Jangan hina diri kamu, Mar. Mama nggak mengemis ke aku. Toh kalau misal Mama mengemis dan aku nggak ingin, pernikahan ini nggak akan terlaksana. Pernikahan ini terlaksana karena aku ingin dan serius menikahi kamu, setelah segala kebejatanku di masa lalu."
Martha tak menukas apapun. Ia hanya menatap wajah Yugo seksama sebelum mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup sulit di jawab oleh suaminya itu.
"Apa alasan kamu pergi waktu itu? Apa sebegitu nggak inginnya kamu menikahi aku?" Todong Martha getir. "Kamu bisa bicara baik-baik sama aku, Yugo. Kita bisa bicarakan segalanya, tanpa harus kamu menghilang seperti itu. Aku merasa nggak berharga sebagai seorang wanita. Laki-laki yang katanya cinta sama aku bahkan semudah itu pergi, meninggalkan komitmennya demi alasan yang aku sama sekali nggak tau apa itu."
Yugo membuang wajah. Sulit menatap Martha akan alasan apa di masa lalu yang melatarbelakangi kepergiannya.
"Yang cukup kamu tau, aku pergi bukan karena nggak menginginkanmu, Mar. Aku pergi karena ada sebuah alasan."
"Dan apa alasan itu?" Geram Martha karena merasa dibodohi oleh Yugo. Seolah dipermainkan dengan mudah. Meninggalkan, lalu setelah puas meninggalkan, ia kembali hadir ke hidupnya seolah tanpa rasa bersalah dan beban barang setitik saja.
"Aku nggak bisa kasih tau itu. Tapi yang perlu kamu tau, nggak ada alasan karena perempuan lain, atau bahkan karena aku nggak cinta kamu. Aku cinta kamu, tapi terpaksa aku pergi saat itu. Hanya itu yang bisa aku kasih tau. Kuharap kamu mengerti aku, Mar."
Martha menggeleng kecewa. Ia melepas tautan tangan mereka dan menatap hampa pada Yugo yang tampak panik karena melihat air mata istrinya. "Lagi-lagi aku yang harus mengerti kamu ya." Kekehnya sedih. "Ya, paling nggak sekarang aku tau apa alasan kamu pergi. Aku memang nggak seberharga itu di mata orangtuaku, dan juga di mata kamu. Semua bebas menyakiti aku, tapi aku harus mengerti kenapa semua menyakiti aku." Martha mengangguk geli. "Oke, got it. Jangan di ambil pusing. Aku akan selalu mengerti kamu dan segalanya, Yugo. Kamu bisa tenang sekarang."
BERSAMBUNG
Sedih nggak sih jadi Martha? Kaya nggak seberharga itu kebahagiaannya😰
21 November 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Engkau Menyapa
ChickLitMartha tak pernah sekalipun menduga kalau ia akan kembali di persatukan oleh sang mantan brengsek yang dulu pernah menorehkan luka mendalam di hatinya. Dan parahnya, kali ini ia harus bertahan dalam status pernikahan, bersama si lelaki pengkhianat y...