BAB I

955 54 2
                                    

Jakarta, Januari 2010.

Gadis dengan rambut sebahu itu kembali menggerutu karena hujan yang tak kunjung berhenti. Beberapa kali mencoba untuk menerobos, namun urung ketika teringat dia tak punya seragam cadangan.

Halte sudah sepi, hanya tersisa beberapa pasang kekasih yang sepertinya sengaja meneduh. Bukan karena takut kehujanan melainkan memanfaatkan waktu untuk duduk berdua di halte diselingi obrolan manis.

Tiinn...

Suara klakson yang berbunyi nyaring membuat Alisa tersentak.

"Alisa? Mau pulang bareng gak? Kita kan satu arah". Tawar Calista. Gadis cantik itu menurunkan kaca mobil dan bertumpu dengan kedua tangannya, menunggu jawaban dari si adik kelas.

"Anu,- gak usah kak Tata. Takut ngerepotin. Bentar lagi juga mas Dio jemput deh kayaknya". Tolak Alisa. Bukan tanpa alasan, hal itu Alisa lakukan karena merasa tak enak hati jika harus mengganggu lovey-dovey sang kakak kelas dengan pacarnya.

Apalagi gadis itu sama sekali tak pernah berinteraksi dengan pacar Calista, dia hanya tau bahwa pacarnya Calista itu adalah seorang mahasiswa tingkat akhir karena kebetulan kakaknya juga berkuliah di universitas yang sama dengan pemuda tersebut.

Jovial; kekasih Calista. Juga pernah terlihat beberapa kali mampir kerumahnya, mengantar Andrio- kakaknya pulang atau mengajak pemuda itu main. Tapi ya itu hanya sekedar mampir, bertegur sapa dengan kedua orangtuanya lalu selebihnya tak ada interaksi sama sekali diantara Alisa dan Jovial.

Dan kabar paling panas tentang hubungan Calista dan Jovial adalah keduanya yang akan segera bertunangan setelah Calista lulus nanti. Biasalah kisah cinta orang kaya kan memang begitu, dijodohkan dengan alasan untuk memperluas bisnis keluarga.

"Gak ngerepotin sama sekali, kok. Lagian kalau kamu mau nunggu Didi sampai lebaran monyet sekalipun dia gak bakalan datang, Jovi bilang orangnya masih sibuk di warnet". Jelas Calista.

"Buruan naik, nanti hujannya makin deras. Kamu jadi gak bisa pulang loh". Lanjutnya.

Alisa ingin sekali menolak, tapi ini tumpangan gratis yang sangat sayang untuk dilewatkan. Kapan lagi dia bisa pulang sekolah dengan mobil ber-AC. Persetan dengan pacarnya Calista yang sedari tadi hanya diam bak patung lilin.

*****

"Alin, sore ini jadi kan temenin aku ke toko buku?". Saat ini Alisa dan saudara kembarnya Alin sedang duduk selonjoran di rerumputan belakang rumah.

"Aduh gimana ya? Kayaknya gak bisa deh, sist. Aku ada kerja kelompok jam tiga nanti". Ucap Alin, gadis pirang itu merasa tak enak hati kepada saudarinya. Tapi apa boleh buat, tugas sekolah nya juga sangat penting.

"Ya terus aku perginya sama siapa dong?". Tanya Alisa sembari memperhatikan Alin yang sibuk melukis di atas kanvas.

"Ajakin mas Dio aja, sogok dikit pake bakso pasti mau". Saran Alin.

"Mas Dio mah awalnya aja minta bakso, ujung-ujungnya uang jajan aku abis buat dia tauu...." Rengek Alisa, raut wajahnya nampak nelangsa.

Ia ingat terakhir kali Andrio meminta untuk dibelikan parfum keluaran Dior sebagai imbalan.

The fucking parfum Dior?!! Yang harganya setara dengan ngabisin duit jajan Alisa sampe lulus SMA. Gak ding! Canda aja ituu....

Hello, PAPA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang