BAB V

415 36 2
                                    

Jakarta, Desember 2010.

Yuta menghampiri Alisa dengan langkah tergesa.

"Alisa, you need to help me. Urgent, urgent!!!!". lelaki itu berteriak keras, sembari memegangi dadanya yang berdetak di atas rata-rata.

"Ada apa sih, kak. Coba duduk dulu deh". Alisa menarik Yuta untuk duduk di salah satu bangku penonton, karena saat ini mereka sedang berada di lapangan futsal sekolah.

"Nih minum dulu, pelan-pelan aja gak ada yang mau rebut kok". Ucap Alisa, menyodorkan sebotol air mineral kepada Yuta. Dan tentu saja langsung diterima dengan cepat, sungguh rasanya Yuta sudah seperti musafir yang sangat kehausan.

"Lisa--- kamu harus ikut aku sekarang. Ini masalahnya serius banget, menyangkut nyawa seseorang". Yuta berucap cepat, setelah menghabiskan minumnya.

"Apasih kak. Pake bawa-bawa nyawa segala, jelasin dulu yang bener. Baru aku ikut".

Sebenarnya malas sekali jika harus ikut bersama Yuta. Karena Alisa sedang menjadi suporter untuk teman-teman sekelasnya yang sedang bertanding melawan kakak tingkat.
Walaupun hanya pertandingan yang rutin dilakukan setiap minggu, tetap saja Alisa sangat excited.

"Lisaaa, please banget. Aku jelasin sambil jalan deh". Bujuk Yuta.

"Gak. Mau. Pokoknya jelasin sekarang, atau aku gak akan ikut". Jawab Alisa tegas. Matanya masih sibuk memandangi wajah-wajah dari temen sekelasnya yang sedang melakukan pergantian pemain.

Mengabaikan Yuta yang rasanya ingin menangis kencang. Niat hati ingin menghabiskan waktu libur dengan damai tapi dia malah berakhir kayak gini. Ah, ini semua karena jovial kampret!

"Jovial gebukin Damian!". Ucap Yuta lantang.

"APA!". Alisa menoleh kaget, lalu sontak berteriak kencang.

"Kenapa gak bilang dari tadi. Dimana kak? Ayo cepetan!". Alisa menarik tangan Yuta secara brutal. Jujur saja Yuta sangat ingin memaki tapi dia masih ingin bernafas dengan normal jadi semua makian itu hanya bisa ia telan kembali.

****

"Kamu punya masalah apasih sama kak Ian. Kenapa pukul dia sampai bonyok begitu, coba?". Alisa menatap Jovial dengan pandangan menuntut.

Sementara tangannya sibuk membersihkan lebam di wajah Jovial dengan cairan antiseptik.

Jovial meringis pelan. Entah sengaja atau tidak, Alisa menekan ujung bibirnya yang robek dengan kuat.

"Aku pikir kamu gak bisa ngomong. Kenapa gak jawab pertanyaan aku?".

"Maaf". Ucap Jovial pelan.

"Kenapa minta maaf sama aku? Kamu harusnya bilang gitu ke kak Ian, tau". Alisa menatap Jovial sejenak, wajah pemuda itu jadi lebih enak dilihat- walaupun banyak lebam dan satu plester menempel di keningnya.

Lalu gadis itu beranjak masuk kedalam rumah untuk mengembalikan kotak obat yang tadi dia gunakan.

"Kenapa harus minta maaf sama dia?". Ujar Jovial ketika Alisa sudah duduk kembali disampingnya.

Hello, PAPA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang