Pukul enam pagi. Angin bertiup cukup kencang bersamaan dengan rintik hujan yang membasahi bumi.
Wanita bersurai legam itu menutup matanya, menikmati angin yang dingin dengan duduk di balkon kamarnya.
Setelah mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang sengaja dibawa pulang. Niatnya Alisa ingin menyibukkan diri disaat weekend seperti ini tapi malah berakhir melamun lagi, wanita itu jadi agak menyesal karena mengabaikan ajakan sang kakak untuk jogging.
Lagi-lagi wanita muda itu memeluk album yang telah lama ditumpuk bersama barang-barang di gudang, album yang akhir-akhir ini begitu sering Alisa buka.
Album yang banyak diisi dengan foto-foto semasa SMA. Salah satunya foto dirinya bersama Damian. Alisa ingat hari itu--- selepas pulang sekolah Damian mengajaknya pergi ke pantai, bermain air sembari menunggu sunset Alisa sempat memotret beberapa siluet pacarnya lalu terakhir mengambil selfie bersama.
Lembar berikutnya terdapat foto dirinya bersama Winan dan Kenneth, kedua pemuda itu tampak memasang wajah cemberut sedangkan Alisa tersenyum cerah.
Melihat foto-foto itu membuat ingatan Alisa tanpa sadar kembali terlempar ke masa lalu. Mengingat seberapa banyak kebaikan yang sudah diberikan oleh kedua lelaki berstatus sahabatnya itu.
Pagi itu cuaca sedang mendung, awan-awan hitam yang tampak menggumpal---seolah tengah bersiap untuk menurunkan hujan.
"Sist, gimana? Udah mendingan atau masih mual?". Si gadis blonde yang baru saja menapaki dinginnya lantai kamar lantas bertanya ketika melihat saudarinya masih berbaring lemas di atas ranjang.
"Udah mendingan kok, Lin". Jawab Alisa seadanya.
Gadis itu sejak subuh sudah memuntahkan semua isi perutnya. Dan sekarang, kepalanya pening— rasanya seperti berputar di atas kincir angin raksasa tanpa henti.
"Duduk dulu yuk, minum air hangat biar lebih enakan lagi". Alin menduduki pinggiran kasur, membantu Alisa untuk duduk.
Huh.
Sebenarnya Alin sungguhan kecewa terhadap Alisa, tapi gadis itu tak tega jika harus membiarkan adiknya menderita sendirian. Ia sungguh iba melihat wajah pucat itu.
"Lin, mas Dio belum pulang ya?". Tanya Alisa pelan, setelah meneguk habis air yang dibawakan oleh Alin.
Meletakkan gelas kembali di atas nakas, kemudian menatap Alisa sendu.
"Belum. Mungkin dia masih punya kerjaan kali, gak usah dipikirin. Kamu istirahat aja, ya". Alin tersenyum lembut, tangannya terulur membenahi rambut sang adik yang berantakan.
"Aku mau ketemu kak Jo".
Mendengar itu, Alin sontak mendengus. "Buat apa? Mas Dio udah cari dia di kampus, tapi dia gak ada. Mas Dio juga udah kerumah nya tapi gak ada orang".
"Apa yang kamu harapkan dari cowok kayak dia. Ada dia tanya keadaan kamu? Bahkan setelah kejadian itu dia gak pernah lagi nampakin batang hidungnya, pengecut!". Tangannya mengepal, ingin sekali memukul wajah Jovial.
"Aku cuma mau kasih tau kalau aku hamil, Lin. Kak Jo harus tau kalau ini anaknya". Ucap Alisa mutlak.
Menghela nafas berat, jika sudah begini maka Alin tidak bisa mencegah Alisa. "Yaudah, aku temenin. Tunggu bentar, aku mau ganti baju dulu".
Alin segera bergegas meninggalkan Alisa yang hanya diam dengan tatapan mata yang kosong.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, PAPA!
Fiksi PenggemarXabiru tidak tahu apa itu definisi seorang papa. Siapa yang harus dia panggil papa? Atau dimana papanya berada. Itulah pertanyaan yang selalu bersarang di otak kecil bocah delapan itu. Namun jauh dari itu, Xabiru merasa dia tidak membutuhkan sosok s...