BAB IV

502 41 2
                                    

Sementara itu di lain tempat-, Jovial tengah menatap jalanan dalam diam.

Setelah sekian tahun, akhirnya pria awal tiga puluhan itu kembali menginjakkan kaki di tempat kelahirannya.

Tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan indah dan juga tempat ia meninggalkan cintanya yang bahkan belum sempat dimulai.

"Jovi, habis ini gue langsung pulang ya. Kasian Rion ditinggal sendirian di hotel. Lo tau sendiri kan dia anaknya bosenan, ntar malah lompat dari balkon kalau kelamaan nunggu". Jeffry yang sedang menyetir memulai pembicaraan.

"Marion juga ikut kesini? Ibunya kemana?". Tanya Jovial tanpa mengalihkan pandangannya.

Jeffry tertawa kecil menanggapi. "Gak usah ditanya, paling juga sibuk sendiri. Kalau masih ingat punya suami sama anak nanti juga pulang".

Jovial menaikkan sebelah alisnya, bahkan setelah Marion lahir hubungan rumah tangga Jeffry dan istrinya tak kunjung membaik.

"Jeff, gue gak tau apa yang salah sama rumah tangga lo dan Jessi. Tapi lo bisa bicarakan semuanya baik-baik sama istri lo, demi Rion–

"Karena gimanapun juga dia pasti butuh kasih sayang dari ibunya."

"Lo gak tau aja Jo, seberapa sering gue coba buat ngomongin semua ini sama Jessica tapi ujung-ujungnya kita pasti berantem. Lalu beberapa hari kemudian, surat cerai udah nongkrong lagi di meja kerja gue".

Jeffry menghentikan mobil ketika sudah memasuki pelataran rumah mewah milik Jovial. ralat, itu--- rumah milik kedua orangtuanya dulu.

Keduanya masih berdiam. Belum berniat turun, karena tampaknya masih ingin saling berbincang.

"Makanya lo jangan sampai salah pilih istri. Belajar dari pengalaman gue, ambil baiknya buruk nya buang jauh-jauh".

"Kalau aja malam itu gue nggak mabuk mungkin gue dan Jessica gak akan terjebak dalam pernikahan hancur ini dan Marion berakhir sebagai korban". Lanjut Jeffry, pria itu memijat pangkal hidungnya pelan.

"Ya, tentu Jeff. Terus kapan lo balik ke malang? Sekolahnya Marion belum libur kan?".

"Belum tau, kalau ternyata Rion suka tinggal disini mungkin kami bakalan pindah".

"Semudah itu? Gimana sama Sekolahnya Marion, terus kerjaan lo?".

Ting!

Mengabaikan suara notifikasi dari ponselnya, Jovial kini sudah sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada Jeffry yang terlihat santai memandangi para pekerja rumah Jovial yang berlalu mengangkat koper di bagasi mobil.

"Ya, karena fokus gue sekarang itu cuma Marion. Gue bakal lakuin apapun buat dia, asalkan dia senang gue juga senang". Ujar Jeffry, matanya melirik Jovial dari pantulan rear-vision mirror. Memperhatikan ekspresi pria itu seksama.

"Lo bakalan ngerti kalau nanti udah nikah dan punya anak. Kalau aja bisa, rasanya gue akan kasih seluruh dunia ini buat Marion. Lo tau kan Jo, sekarang gue cuma punya Marion". Lanjutnya.

Kalau saja membunuh bukanlah suatu kejahatan, mungkin sudah sejak lama Jeffry melenyapkan Jessica agar dia bisa hidup bahagia bersama Marion;putranya.

Hello, PAPA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang