BAB VII

279 33 1
                                    

Noted: flashback.

Awal tahun, 2011.

Namanya, Damian Marley. Ketua tim basket SMA Kwangya yang begitu digilai para gadis, baik di dalam lingkungan ataupun luaran sekolah.

Tentu saja. Karena bukan hanya sekedar tampan, Damian juga merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolah. Lalu kedua orangtuanya yang merupakan pengusaha sukses di ibukota, selalu menjadi nilai tambah bagi pemuda itu.

Namun sayangnya dibalik semua hal yang nyaris sempurna itu, Damian hanyalah seorang pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Rayu sana-sini, lalu setelah merasa bosan para gadis akan ia campakkan.

"Aing perhatiin dari tadi kamu melongok aja liatin kelas sebelas satu. Kunaon sih?". Damian hanya menoleh kilas tanpa berniat menjawab pertanyaan Tian, si pemuda asal Bandung yang tidak fasih berbahasa Sunda.

"Ditanya bukannya jawab malah diem aja, lagi sariawan ya?". Tian kembali bersuara.

Agak heran saja karena sejak bel istirahat berbunyi, bukannya pergi ke kantin Damian malah menuju ke lapangan voli. Duduk di bangku penonton yang kebetulan menghadap langsung ke arah kelas sebelas satu.

"Gitu aja gak tau. Damian kan masih ngecengin adek kelas yang namanya Alisa itu lho, noh orangnya keluar".

Gerry yang sedari tadi hanya diam  akhirnya buka suara, kasihan juga ngeliat Tian yang di diemin sama Damian.

Pemuda itu menunjuk seorang gadis yang sedang mencuci tangan di wastafel depan kelas.

Damian, Tian, dan Gerry. Ketiganya sama-sama populer disekolah, namun tentunya dalam hal yang berbeda.

Kalau Damian populer karena segudang prestasinya, lain ceritanya dengan Tian dan juga Gerry. Tian populer karena pemuda itu sangat ramah, setiap orang yang ada dilingkungan sekolah pasti disapa. Bahkan Tian selalu cium tangan satpam depan saat pergi dan pulang sekolah, kadang pemuda itu juga membantu petugas kebersihan sekolah berkeliling memunguti sampah di depan kelas.

Lalu Gerry. Dia adalah pembangkang nomor satu di sekolah, pemuda itu "hampir" di keluarkan karena dengan sengaja melempar bola basket sampai mengenai kepala wakil kesiswaan, juga hampir membuat seluruh area sekolah terbakar karena dengan sengaja membakar sampah lalu menyiramnya dengan satu jeriken minyak tanah.

"Lah, kalau itu mah aing kenal, yang waktu itu ngebuat Dami gelud sama Bang Jo kan? Dia juniornya aing di kelas tari, tau". Tian melambaikan tangannya ketika secara tak sengaja bertemu tatap dengan Alisa.

"Alisaa? Sini sebentar dong". Panggil Tian semangat.

Dan hal itu membuat Damian menoleh sinis. Apa-apaan! Kenapa harus sok akrab dengan semua orang sih! Saat Damian berkelahi dengan Jovial beberapa waktu yang lalu aja si Tian berpura-pura buta seolah ia tak mengenal Damian.

Tapi sebenarnya Tian ngelakuin itu karena ia takut terkena pukulan Jovial yang keliatannya aja gak bakalan main-main sakitnya, lagipula saat itu dia masih shock tau-tau Damian dan bang Jo udah saling adu otot aja.

Sementara Gerry yang berdiri di dekat net mengusap wajahnya kasar. Ingin rasanya menjual Tian di koko cina yang biasa membeli barang bekas, tukar tambah atau tidak dibayar sekalipun juga bukan masalah. Asalkan Tian bisa menghilang dari pandangannya.

Hello, PAPA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang