‘Huh! Kapan pelajarannya selesai?!’
‘Aku lapar sekali.’
‘Pantat Bu Namtan seksi sekali.’
‘Kalau aku mengajaknya berkencan apa dia mau ya?’
‘Kya! Akhirnya Papi membalas pesanku.’
‘Aku mau pulang, makan dan tidur.’
‘Ah — Ja Pachara kenapa kau tampan sekali?!’
‘. . . . .’
Ja Pachara menarik napas dalam lantas memijat kepalanya yang terasa pening karena kebisingan itu. Kebisingan yang tentu hanya bisa di dengar dirinya sendiri, karena bagaimana pun juga kelas yang di ajar oleh dosen cantik nan galak itu begitu hening.
Pemuda berkulit tan yang kini berusia dua puluh lima tahun itu tidak habis pikir, kenapa pikiran penghuni kelas ini begitu berisik. Tidak bisakah mereka memperhatikan pelajaran saja, padahal ini masih awal semester baru.
“baiklah, apa kalian mengerti dengan materi kita hari ini?”
“Yes Miss..” jawab penghuni kelas itu serempak. Namun yang di dengar Ja hanya umpatan-umpatan bahwa mereka tidak mengerti apa pun.
“Good! Kalau begitu apa kalian punya pertanyaan?” tanya sang dosen. ‘Aku mohon jangan ada yang bertanya, aku tahu kalian tidak mengerti. Aku pun lelah, ingin pulang dan mengakhiri kelas ini,’
“Saya Miss..”
“Iya, Ole Thanakorn. Apa yang ingin kamu tanyakan?” ucap dosen itu ramah. ‘Ah! Dia lagi. Aku akan memberinya nilai F kalau pertanyaannya nyeleneh lagi!!’
Ja terkekeh geli mendengar gerutuan batin dosen itu. Sementara sahabatnya yang tengah mengangkat tangan itu kini tersenyum lebar hingga dimple-nya terlihat.
“Apa pantat seksimu itu benar-benar asli atau hanya gabus, Miss?” Sumpah! Ole hanya penasaran, tidak ada maksud lain. Karena pantat dosen itu terlihat besar dan bulat. Padahal tubuhnya kurus.
Seisi kelas sontak tertawa, begitu pun dengan Ja. Pertanyaan yang keluar dari mulut Ole benar-benar jujur, karena batinnya pun mengatakan hal yang sama. Ole itu orang yang sangat blak-blakan. Apa yang ada di dalam kepalanya, itulah yang akan ia katakan. Begitu jujur, tanpa kepalsuan. Itu juga yang menyebabkan Ja betah berteman dengan dia sejak pertemuan mereka sebagai mahasiswa baru tiga tahun yang lalu.
“Ole Thanakorn, sepertinya saya tidak perlu menjawab pertanyaan itu,” ucap Bu Namtan dengan sebuah senyuman yang di paksakan. ‘Dasar bocah kurang ajar. Benar-benar minta di beri nilai F!’
Ja menyikut pelan temannya. “Dia bilang kau bocah kurang ajar dan akan memberimu nilai F,” bisik Ja.
Ole terkekeh. “Kalau dia memberiku nilai F, dosen-dosen yang lain akan mempertanyakannya. Karena kau tahu sendiri otakku ini seperti apa. Genius!”
Ja memutar bola matanya malas. “Iya genius! Tapi tak punya akhlak!”
‘Sama saja denganmu Ja sialan!’
“Aku dengar Ole Thanakorn!”
‘Oh baguslah, aku tidak perlu repot-repot bicara tapi kau tetap mendengarku.’
Ja menatap datar Ole dan pria itu hanya tersenyum manis hingga lesung pipinya terlihat jelas.
Ya, Ole adalah satu-satunya orang yang mengetahui kemampuan Ja, dan pria berkulit sawo matang itu tak pernah mempermasalahkan itu. Tetap menerima Ja sebagai sahabat, bagaimana pun keadaannya. Bahkan saat Ja pura-pura miskin dan suka meminjam uang padanya pun, pria itu tak pernah mempermasalahkan atau mengatainya diam-diam. Lalu saat Ja mengatakan yang sebenarnya kalau ia anak orang kaya, Ole hanya memekik heboh dan setelah kejadian itu ia bersikap seperti biasa. Tak ada perlakuan yang berbeda atau spesial. Dan yang terpenting, Ole tidak pernah memanfaatkannya seperti anak yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice [M] END
Short StoryDunia Ja Pachara menjadi dua kali lebih berisik saat ia tak sengaja menolong seorang kakek tua di dalam hutan dan mendapat hadiah sebuah pendengaran. Sejak saat itu ada dua suara manusia yang bisa Ja dengar. Satu suara penuh kepalsuan yang senantias...