Sudah tiga bulan berlalu semenjak kecelakaan naas itu. Seng, Ole, Ja dan First telah benar-benar pulih dan kembali pada kegiatan mereka masing-masing.
Flat yang dulu di tinggali First kini sudah di tidak di tempati oleh pria manis itu lagi karena Ja memaksanya untuk tinggal bersama.
Dan flat itu kini di tempati oleh orang lain, lebih tepatnya teman First, pria manis serupa kucing dengan pacarnya si tampan yang sedikit aneh dengan sifat kekanakan.
First telah kembali melatih vokalnya, pria manis itu berniat untuk meraih cita-citanya menjadi seorang penyanyi dan Ja Phacara akan selalu siap untuk membuatkannya lagu-lagu yang bagus nantinya.
Hubungan Ja dan First berjalan dengan baik. Mereka begitu manis dan mesra di mana pun dan kapan pun. Yah—walau ada beberapa pertengkaran yang akhirnya menyulitkan para tetangga mereka, tapi setelahnya mereka segera berbaikan dan bermesraan lagi. Menempel bagai magnet yang selalu tarik menarik, seperti mereka memang di ciptakan untuk satu sama lain.
Dan kini pasangan lucu itu tengah dalam perjalanan untuk liburan setelah berkutat dengan segala macam kegiatan yang membuat penat.
Duduk berdua di dalam mobil dengan musik yang ceria dan camilan yang tak ada habisnya sungguh terasa menyenangkan.
First membuka lebar kaca mobilnya, menjulurkan tangannya saat mereka memasuki kawasan hutan di daerah Phuket.
Dedaunan sudah berubah warna menjadi kecokelatan dan menggugurkan diri. Tangan mungil itu terus mencoba menggapai dedaunan yang berjatuhan dan bibir plumnya terus bersenandung mengikuti lagu-lagu yang terputar di radio. Sementara Ja, pria tan itu hanya tersenyum menikmati pemandangan yang begitu indah di sebelahnya.
Bagasi mobil mereka penuh dengan dua koper besar yang mereka bawa. Lalu di kursi belakang, ada gitar kesayangan Ja dan juga dua buah guci berisikan abu orang tua First.
Ferarri putih Ja melesat cepat membelah jalanan menuju sebuah pemakaman yang ada di daerah itu. Dan mereka turun dari dalam mobil dengan satu buah guci di tangan masing-masing.
“Kenapa kau ingin meletakkan abu orang tuamu di tempat yang jauh begini First?” tanya Ja saat mereka berjalan beriringan, menuju pemakaman.
“Hum—karena disini adalah kampung halaman ibuku. Dulu ibu pernah bercerita, ia sangat menyesal meninggalkan kakek ku di sini dan menikah dengan ayahku. Ibu selalu membujuk kakek untuk tinggal bersamanya di kota, tapi kakek selalu menolak dan akhirnya meninggal sendirian di sini saat usiaku sepuluh tahun. Ibuku pernah berpesan, jika nanti beliau meninggal, ia ingin di tempatkan bersama kakek ku.” First menghela napas dalam. “Dan karena ibu sangat mencintai ayah, maka aku juga membawa ayahku kemari agar mereka tidak kesepian.”
Ja mengangguk mengerti dan mengikuti kekasihnya, hingga mereka sampai di depan sebuah kotak kaca.
First meletakkan abu ayah dan ibunya di sebelah abu kakeknya, lantas meronggoh tasnya dan mengeluarkan sebuah foto.
Foto yang berisikan kedua orang tua kandung First, dengan sang kakek.
First menempatkan foto itu di dalam kotak kaca dan mencangkupkan tangannya, mengirim doa untuk mereka.
Dalam diam Ja memperhatikan foto itu dan tubuhnya langsung meremang.
Walaupun di foto terlihat lebih muda, tapi Ja yakin, jika yang ada di dalam foto itu adalah kakek yang sama dengan yang ia temui di dalam hutan dan memberinya hadiah. Terlebih lagi dengan keberadaan orang tua First di sisinya, Ja yakin merekalah orang yang menjemput si kakek dan menyapanya dalam mimpi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Voice [M] END
Short StoryDunia Ja Pachara menjadi dua kali lebih berisik saat ia tak sengaja menolong seorang kakek tua di dalam hutan dan mendapat hadiah sebuah pendengaran. Sejak saat itu ada dua suara manusia yang bisa Ja dengar. Satu suara penuh kepalsuan yang senantias...