Pemuda manis itu berdiri dengan kaki gemetar di depan gedung kantor polisi seorang diri. Kedua matanya menatap penuh keraguan dan tangan mungilnya mengenggam erat sebuah kartu nama bertuliskan 'Sapol' pemberian seorang polisi yang dulu pernah menangani kasus ibunya.
First masih ingat betul apa yang pernah detektif itu katakan padanya, ketika memberikan kartu nama itu padanya.
“Jika suatu saat nanti kau siap untuk memberikan keterangan, datanglah padaku. Walaupun kasus ibumu telah di tutup, tapi aku pasti akan membuka penyelidikannya lagi jika kau siap bersaksi, First.”
Dan hari ini, setelah memikirkan kata-kata yang di ucapkan Ja kemarin, First mendapatkan sedikit keberanian.
‘Phi Ja akan melindungiku! Jangan takut First, jangan takut!’ batinnya menguatkan dirinya.
First hendak melangkah, namun sebuah pesan masuk di ponselnya membuatnya melangkah mundur dan berbalik menjauhi kantor polisi itu dengan keringat dingin dan mata gelisah menatap ke segala arah.
---
Sebaiknya kau pulang manis. Berada di kantor polisi tidak baik untuk keselamatanmu dan juga kekasihmu.
---
Isi pesan yang baru masuk ke dalam ponselnya membuat First begitu cemas. Ia tidak percaya bahwa selama ini dirinya selalu di awasi.
Sejauh mana orang itu mengawasi dan tahu tentang hidupnya? Kenapa sekarang Ja pun jadi ikut terancam?
First kembali terlonjak saat ponselnya lagi-lagi bergetar, dan sebuah pesan masuk dari Ja yang menanyakan keberadaannya membuat hatinya lega.
Dengan cepat First mengetikkan balasan. Mengirimkan lokasinya dan meminta Ja untuk menjemputnya.
Lima belas menit berlalu, First yang mengunggu di sebuah halte bis terdekat hanya duduk diam dengan kepala tertunduk. Ia begitu gelisah dan pikiran berkecamuk.
Saat hanya dirinya yang terancam First sudah merasa begitu ketakutan, dan kini saat Ja-nya pun ikut terancam dia bertambah takut untuk bicara, bahkan dalam benaknya pun First harus tetap diam karena kini ada seseorang yang bisa mendengarkannya.
PUK.
Sebuah usapan halus di rambutnya membuat First terlonjak, ia mendongak dan mendapati kekasihnya berdiri dengan senyuman mengembang.
‘Phi Ja, kapan sampainya?’ tanya First dalam batinnya.
Ja hanya tersenyum, mengulurkan tangannya untuk si manis. “Ayo..” ucapnya.
First mengernyit karena Ja tidak menjawabnya. ‘Apa Phi Ja sudah tidak bisa mendengarku? Phi Ja, kau tidak mendengarku? Phi Jaaa?’
Ja hanya diam, sampai mereka akhirnya duduk bersebelahan di dalam mobil, barulah Ja bersuara.
“Maaf manis, tadi ada banyak orang di dekat kita. Mereka akan menyangka aku gila kalau bicara sendiri,” jelas Ja.
First membuka mulutnya, ia baru mengerti mengapa Ja tidak menjawabnya. ‘Ah —aku kira phi sudah tidak bisa mendengarku lagi,’ batinnya.
“Aku mendengarmu sayang, jangan khawatir.” Ja memberi usapan lembut di pipi si manis dan mulai menjalankan mobilnya.
“Ngomong-ngomong kenapa kau bisa ada di sini, First?” tanya Ja. Ia sangat khawatir saat First mengatakan dirinya berada di dekat kantor polisi melalui pesan. Terlebih lagi jika mengingat gumaman batin First kemarin. Dan saat Ja bertanya mengapa si manis takut akan hujan dan petir, ia hanya menjawab ibunya meninggal saat turun hujan deras dengan petir yang menggelegar. Alasan yang cukup masuk akal, tapi entah mengapa ia merasa masih ada yang hal lain yang di sembunyikan kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice [M] END
Короткий рассказDunia Ja Pachara menjadi dua kali lebih berisik saat ia tak sengaja menolong seorang kakek tua di dalam hutan dan mendapat hadiah sebuah pendengaran. Sejak saat itu ada dua suara manusia yang bisa Ja dengar. Satu suara penuh kepalsuan yang senantias...