神 - 04

779 159 41
                                        



Setelah pulang bersama First, Ja langsung berganti pakaian dan mendudukkan diri di teras depan flat, memainkan gitarnya sambil bersenandung pelan dengan suara serak basahnya. Dengan sabar ia menunggu First yang mengatakan akan membersihkan diri, mereka berjanji untuk makan siang bersama hari ini. Sesekali bibir tipis itu menyunggingkan senyuman saat mendengar gerutuan First di dalam sana.

Gerutuan tentang betapa malunya ia hari ini, tentang jantungnya yang berdebar kencang saat Ja melontarkan rayuan, juga tentang pelukan mendadak yang First bilang bisa membuat jantungnya seolah ingin meledak.

Ja mendengar semuanya dan hatinya menghangat, karena ia pun merasakan hal yang sama. Ia tidak dapat mengontrol bibir tipisnya untuk tidak mengeluarkan pujian tulus yang First anggap sebagai rayuan semata, ia tak mampu menahan diri untuk tidak memeluk First saat melihat pria manis itu basah kuyup karena bully-an yang  First dapatkan hari ini.

Ja bukannya tidak mengerti tentang perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Ia tahu, tapi ragu karena sudah lama tak merasakan hal seperti ini lagi. Dan juga sedikit takut, apakah kejadian di masa lalu akan terulang? Bagaimana jika ia dikhianati lagi? Bagaimana jika hatinya di patahkan lagi? Bagaimana jika yang ia rasakan kini hanyalah sebuah perasaan semata dan berakhir menyakiti keduanya? Tidak, Ja tidak ingin itu terjadi.

Sebuah tepukan halus di bahu menyadarkan Ja dari lamunannya. Ia menoleh dan menemukan First yang telah berdiri di sebelahnya dengan kaos putih berlengan pendek dan juga celana kain selutut.

‘Aish —kenapa pakaian kami jadi seperti couple begini.’

Mendengar gumaman batin First, Ja memperhatikan pakaiannya. Kaos putih berlengan pendek dan celana hitam selutut, serasi.

“Apa kita berjodoh nong? Bahkan memilih pakaian pun bisa serasi begini,” goda Ja sambil tersenyum jahil.

‘A-apaa?’ First menatap Ja penuh tanya, lalu kemudian wajahnya merona dan tersipu malu. ‘Berhentilah mempermainkan hatiku Phi..’

Ja terkekeh, kemudian menarik tangan First untuk duduk di sebelahnya. “Duduklah, aku sudah memesan makanan via online untuk kita,” ucapnya. Tolong jangan katakan pada Ole jika Ja punya aplikasi untuk memesan makanan via online, nanti Ole tidak mau membelikannya makanan lagi.

Pemuda manis itu duduk dengan kepala tertunduk di sebelah Ja. Meletakkan pena dan catatan kecilnya di atas meja.

Mata tajam Ja menyipit saat membaca coretan-coretan yang ada disana lalu tersenyum tipis. “Apa kau punya kenalan bernama Ja Pachara selain aku, nong?” tanya Ja.

First mengernyit menoleh ke arah Ja dan menggeleng pelan. ‘Tentu saja tidak. Kenapa dia bertanya begitu?’

Ja menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. “Kalau begitu ini memang namaku ya?” tanya Ja sambil menunjuk buku catatan First.

Mata kecil First membola, secepat kilat ia membalik buku catatannya dan menulis dengan tangan bergetar. ‘Astaga bodoh sekali First!! Kapan kau akan berhenti mempermalukan dirimu sendiri.’


Ah—itu sebenarnya aku sedang mencoba menulis ucapan terima kasih untukmu karena telah memberiku tumpangan pagi ini phi. Karena tidak tahu harus bilang apa, aku jadi menulis namamu banyak sekali.

‘Itu karena wajahmu tidak mau hilang dari pikiranku. Aish —semoga saja Phi Ja percaya dengan alasanku,’  pekik batin First.

“Ah begitu. Aku pikir karena kau selalu memikirkanku makannya kau menulis namaku sebanyak itu,” gumam Ja dengan bibir meruncing.

 Voice [M] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang