神 - 08

664 169 199
                                    

“Bagaimana?” tanya Ja saat Ole meletakkan kertas-kertas yang berisikan kesaksian First di atas meja.

Kini mereka tengah berada di perpustakaan kampus, duduk di meja yang ada di pojok ruangan agar tak ada yang mengganggu diskusi mereka.

Ja sudah menjelaskan sedikit melalui pesan yang ia kirim saat meminta Ole untuk menemuinya di perpustakaan, sementara sahabatnya itu hanya diam dan membaca apa yang Ja berikan dengan dahi mengerut.

Ja sangat sadar ia tak dapat bergerak sendirian untuk menangani ini. Dia butuh Ole, lebih tepatnya isi kepala pemuda berlesung pipi itu.

“Aish—apa yang kau tulis ini? Kalau begini kau bisa dapat nilai F!” ucap Ole. Ia melipat tangannya dan menatap serius sahabatnya.

“Hah? Apa—

‘Diam bodoh! Ikuti saja alurnya!!’  maki Ole dalam batinnya.

“Kenapa? Apa aku salah?” tanya Ja ragu.

“Tentu saja, kau salah banyak! Kapan kau akan pintar Ja Phacara. Walau Bu Namtan cantik, tapi dia tidak akan memberi ampun untuk nilaimu!” oceh Ole membuat kening Ja semakin berkerut.

Ole terkekeh hambar, lalu menumpukan kedua tangannya di atas meja. ‘Dengar, kalau kau dan First memang ingin membuka kasus ini lagi, maka kalian harus membuat diri kalian aman dulu. Jika benar seperti yang First katakan bahwa kalian di awasi—’

Ole menjeda ucapannya dan bersandar di kursi. ‘—Maka sekarang kau sudah melakukan kesalahan besar,’  ucap Ole dalam batinnya.

Ja hanya diam dan menatap Ole penuh tanya tanpa mengucapkan apa pun, karena Ole lebih memilih bicara dalam benaknya.

‘Kau pasti bertanya apa maksudku, iyakan?’

“Jadi di mana letak kesalahanku?” tanya Ja.

Ole mendorong kertas yang di berikan Ja dan menunjuknya asal. “Disini bodoh!!”

Walaupun kesal karena di katai bodoh, tapi Ja mencoba untuk mengikuti alur. “Coba jelaskan padaku,” ucap Ja.

‘Arah jam dua, tapi kau jangan menoleh. Dia sedang mengawasi kita sejak tadi,’  ucap batin Ole, membuat rahang Ja mengeras dan Ole malah terkekeh melihat wajah kesal sahabatnya.

Ole mengambil bukunya dan mencoret-coret asal. “Harusnya begini, untung saja kau punya teman pintar.”

Ja akui, ia memang tidak peka. Karena sejak ia bisa mendengar ucapan batin orang-orang, ia benar-benar tidak peduli pada sekitar hingga tidak tahu ia sedang di awasi.

“Perhatikan,” ucap Ole sambil terus mencoret. ‘Apa orang itu tidak mengatakan apa pun dalam benaknya?’

“Apa kau mengerti Ja Phacara?”

“Tidak,” Ja menjawab pertanyaan batin Ole, karena ia memang tidak mendengar ada yang aneh di sekitarnya.

“Bodoh!” gumam Ole. ‘Kalau aku simpulkan, dia sudah mengawasimu sejak lama. Mungkin bukan hanya kau, tapi semua orang yang berhubungan dengan First. Dan kalau tebakanku benar, dia sudah tahu tentang kemampuanmu!’

Ja cukup tersentak. Ia memijat lehernya kaku dan berusaha untuk tetap terlihat tenang. “A-aku tetap tidak mengerti,” ucap Ja.

“Maka dari itu perhatian baik-baik,” ucap Ole tenang. ‘Opsi pertama, dia pernah melihat mu berkomunikasi dengan First atau denganku. Dan dari sana dia tahu kau bisa mendengarkan suara batin orang. Opsi kedua dia memasang penyadap. Paling besar kemungkinannya pada ponsel First, karena hanya dia yang pernah berinteraksi langsung dengan penjahatnya. Aku tidak tahu sejauh mana penjahat itu tahu tentang kalian berdua. Tapi ini sungguh berbahaya.’

 Voice [M] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang