Dua Puluh Dua

86 26 14
                                    

"Ran, hari ini ada bocah enam tahun mau nginap disini. Boleh, kan?" Woonu menghampiriku yang sedang di dapur, bersandar di depan pintu.

"Boleh, kok. Siapa dia? Anak kamu, ya?" gurauku.

Woonu tertawa, "Ya jelas bukan, lah. Dia keponakanku. Lagian kalau itu anakku, aku punya anak sama siapa pula?"

Aku ikut tertawa. Hanya bergurau. Woonu serius sekali.

"Ngapain kamu?" Pandangan Woonu terarah lurus ke bahan-bahan masakan yang tergeletak di atas meja di hadapanku.

"Mau coba masak, hehe."
"Nggak usah. Nanti kita bakal makan di luar bareng anak itu."

"Oh, oke." Aku mengangkat bahu, merapikan kembali bahan-bahan masakan tersebut ke tempatnya semula.

"Lagian memangnya kamu bisa masak?" Woonu tersenyum kecil, meledek.

Aku menggaruk leher yang tidak gatal, menggeleng kemudian, "Nggak, sih. Aku mau coba aja, hehe. Persiapan buat nikah nanti."

Woonu tertawa kecil, "Masih lama kamu nikahnya. Masih sekolah. Nanti kuliah, lalu kerja dulu. Usahakan jangan nikah dulu sebelum kerja."

Kedua alisku terangkat, menatapnya, "Kenapa begitu?"

"Kalau kamu baru kerja setelah nikah, kamu harus bagi-bagi gaji ke suamimu, ke keluarga kecilmu nanti. Kamu nggak bisa ngerasain hasil kerja keras kamu sepenuhnya, kan? Karena harus dibagi-bagi. Tapi coba kalau kamu kerja sebelum nikah. Kamu bebas boleh make uang hasil kerja kamu. Beli apalah, sesuai yang kamu mau. Nggak harus dibagi-bagi. Ini menurut pikiranku aja, sih. Keputusannya ada di kamu, karena kamu tokoh utama di hidup kamu." Woonu masih tersenyum.

Kepalaku terangguk-angguk, benar juga. Pria yang cerdas.

"Lagipula, Ran, perempuan itu nggak bisa masak juga nggak masalah. Masak itu keterampilan, bukan kewajiban. Tapi memang sebaiknya, perempuan bisa masak meski cuma masakan ringan untuk suaminya nanti, tapi masak itu nggak wajib. Belajar masak itu bagus. Tapi kulihat dari dulu, kamu coba masak tapi selalu gagal," lanjutnya panjang-lebar.

"Masakanku nggak enak, ya? Tapi kenapa saat itu kamu selalu bilang enak?" tanyaku, menyindirnya.

Woonu salah tingkah, bingung harus menjawab apa. Aku hanya tertawa kecil melihatnya.

"Ya intinya gitu. Mungkin masak memang bukan keterampilan kamu. Kalau memang nggak bisa, jangan dipaksain." Woonu kembali ke nasihat sebelumnya.

"Um.. kata nenek, aku harus bisa masak. Nanti aku susah cari jodoh kalau nggak bisa masak."

Lagi dan lagi, Woonu tertawa, "Kata siapa? Nenek kamu? Hei, kalau kamu berpendidikan, sekolah tinggi, cerdas, pintar merawat diri, punya karier gemilang, semua itu udah cukup untuk bikin semua laki-laki ngincar kamu. Masalah masak belakangan. Kamu bisa belajar masak bareng suami kamu malah."

Mulutku terkunci. Baru kali ini aku diberi nasihat seperti ini. Woonu sudah seperti ayahku.

"Ayo, mau ikut jemput Rei?" tanya Woonu.

"Siapa Rei?"
"Anak enam tahun yang tadi kubilang."

Kepalaku terangguk semangat, "Ayo! Sejak dulu, aku selalu suka anak kecil."

"Bukannya mereka malah menyebalkan?" Woonu mengerutkan dahi.

Aku tertawa, sedikit setuju. Bagaimanapun, anak-anak tetap menggemaskan menurutku. Mereka masih belum ada dosa, masih imut.

🦋

"Di mana dia? Lama betul," keluhku untuk yang kesekian kalinya. Kakiku berjinjit, mataku bergerak-gerak mencari makhluk kecil yang mungkin beberapa detik lagi akan datang.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang