Enam

126 33 3
                                    

Sudah tiga hari aku tak lihat Brian. Sejak sore itu, saat ia dikabarkan bahwa adiknya masuk rumah sakit, aku tak pernah melihat batang hidungnya. Entah ia dimana. Apa adiknya sudah sembuh? Apa ia masuk sekolah? Mungkin saja ia masuk ke sekolahnya, namun tak sempat mampir ke sekolahku karena mengawasi adiknya. Semoga saja adiknya lekas sembuh.

Belakangan ini aku kesepian. Jyne sering tak masuk sekolah karena masalah keluarga. Brian juga tak ada. Tak ada yang bisa kuajak bercanda. Untuk sekadar mengirim pesan saja, sepertinya Brian tak sempat.

Jadi begini rasanya rindu?

Handphone yang ada di genggamanku berbunyi nyaring, membuat beberapa anak murid yang sedang berjalan ke pintu gerbang menoleh sekilas.

Mataku cepat-cepat membaca kontak yang tertera di handphone. Ah, dari Jyne!

Bibirku bergumam membaca pesan, darinya, "Hai, Ran. Bolehkah kamu mengunjungiku di Cafe Putih? Kamu tahu, kan?"

Jemariku menari di atas keyboard, tersenyum senang, "Tentu saja! Tunggu aku disana!"

Aku mematikan handphone, mempercepat langkah. Jyne menungguku. Pikiranku mulai berkeliling.

Apa Jyne akan curhat tentang keluarganya? Apa hanya untuk melepas rindu?

"Cantik, pulang sama aku aja."

Aku menghentikan langkah, emosi. Manusia satu ini begitu mengganggu kehidupanku. Muncul dimana-mana. Membuatku risih. Kenapa dia harus bersekolah disini? Kenapa dia tak di Jerman saja? Kenapa Jyne mengenalkannya padaku? Padahal aku tak pernah minta, loh.

"Nggak usah, kak," jawabku, melanjutkan langkah.

Ia ikut mempercepat langkah, berusaha menyamai langkahnya dengan langkahku, "Kamu jadi pacarku. Akhirnya."

Aku menatap tubuh tingginya, "Maksudnya?"

Bahunya diangkat sejenak, "Udah kubilang, kalau kamu manggil aku pakai sebutan itu lagi, kamu harus jadi pacarku."

Perkataan siang tadi, rupanya. Menyebalkan. Baiklah.

Langkahku terhenti, menghadap ke arahnya.

"Aku disini untuk nagih janji kamu tadi siang." Ia ikut menghentikan langkah, tersenyum semanis mungkin.

"Cepat." tukasku.

"Apanya?"
"Katanya mau username? Kalau kelamaan, nggak jadi."

Ia bersorak girang, buru-buru menyerahkan handphone mahalnya padaku.

Aku masuk ke akun Instagram-nya, mencari akunku. Ketemu, cepat-cepat kutekan follow.

Tanganku mengembalikan handphone miliknya, berusaha berjalan secepat mungkin. Sengaja tak kuberikan nomor. Kuharap ia tak ingat.

Namun sial, ia sadar rupanya. Kaki panjangnya kembali menyusul langkahku, kali ini berhenti tepat di hadapanku.

"Nomornya? Cantikku kok lupa, sih?" Cloud memberikan handphone lagi.

Ya sudahlah. Aku menerimanya. Mengetikkan beberapa digit nomor handphone-ku. Memberikannya kembali.

Ia tersenyum. Dari wajahnya, bisa kulihat betapa senang dirinya. Aku tersenyum tipis. Melihat orang lain bahagia, mampu membuatku ikut bahagia. Pasti semua manusia juga begitu, kan?

"Aduh, gila! Dikasih senyum sama si cantik juga! Beruntung banget gue, ya!" Cloud mulai menatap sekeliling, menatap orang-orang yang memperhatikan, "Iri, kan, lo semua!"

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang