Sebelas

130 31 9
                                    

"Siapa, sih? Pacarmu, ya?" godaku sengaja.

Sedari tadi, handphone Jyne terus berdering. Tak bisa terlihat siapa yang menelepon, karena Jyne hanya menamai kontak orang tersebut dengan emoji hati. Namun jika dilihat dari nama kontak yang hanya diberi emoji hati, sepertinya pacar baru Jyne. Atau mungkin, orang yang sedang Jyne sukai.

Jyne tersenyum kecil, "Biarin aja. Dia belakangan ini suka telepon. Nggak tahu kenapa."

Aku cekikikan, "Pacar barumu, ya?"

"Semoga." Jyne tertawa.

"Siapa, sih? Anak kelas kita? Atau jangan-jangan Cloud?" tanyaku penasaran.

"Kamu udah manggil dia pakai nama doang, ya? Nggak pakai panggilan 'kak' lagi?" tanyanya balik.

"Udah dari dulu kupanggil tanpa panggilan 'kak'. Dia suruh aku untuk nggak usah pakai panggilan itu lagi. Kalau aku masih tetap manggil dia pakai panggilan itu, disuruh jadi pacar dia." Aku menyilangkan kaki, mendengus malas begitu teringat perkataan Cloud kala itu.

Jyne tertawa pelan, "Dia benaran naksir kamu, Ran. Terima aja. Kalau nunggu Brian mah kelamaan."

"Aku nggak nunggu Brian, nggak ada niat untuk nerima Cloud juga. Lagi mau fokus masa depan, nggak mau jalanin hubungan dulu."

"Kenapa? Kamu cantik banget, loh. Cowok ganteng yang mau jadi pacar kamu juga pada antri. Ganteng semua pula. Kamu tinggal milih satu di antara mereka." Jyne menggulung sedikit lengan sweater miliknya.

Kepalaku tergeleng tegas, "Malas jagain jodoh orang lain."

"Kalau salah satu dari mereka ada yang jadi jodoh kamu gimana? Berarti nggak jagain jodoh orang lain, kan?"
"Iya, sih. Tapi nanti aja. Malas ngurusin patah hati, cemburu, dan segala macam."

Ia mengangguk setuju.

Kami sedang di cafe seperti biasa, berbincang banyak hal. Agak susah untuk berbincang di sekolah, karena kelas kami berbeda. Berbincang di tempat les juga kurang nyaman. Kadang, kami janjian untuk ke cafe ini. Mengerjakan PR, atau lainnya. Pelayan disini bahkan sudah mengenal dan hapal pesanan kami.

"Hai, Ran."

Eh? Terdengar seperti suara Woonu.

Aku dan Jyne menoleh serempak ke samping kiri. Tubuhku benar-benar tersentak begitu melihat siapa yang memanggilku barusan. Aku buru-buru berdiri, merapatkan diriku padanya, berbisik kecil, "Kenapa disini? Nanti ketahuan..."

"Mau jemput kamu pulang, lah. Yuk?"

Kepalaku tertoleh ke arah Jyne, berusaha tersenyum sembari meraih tas sekolah yang tergeletak di atas sofa, "Aku.. pulang duluan, ya."

Jyne mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa buru-buru banget? Aku masih mau ngobrol."

"Maaf tapi aku ada urusan sebentar, hehe. Maaf, ya. Besok-besok kita kesini lagi, deh. Ngobrol lebih lama. Aku yang traktir sekalian, hehe. Udah, ya! Bye!" Aku cepat-cepat menarik tangan Woonu keluar cafe, masuk ke mobil yang ia parkirkan sembarangan di pinggir jalan.

Woonu juga masuk ke mobil, duduk di kursi supir. Melepas topi yang ia kenakan, juga masker yang menutupi mulutnya.

"Kenapa tiba-tiba banget, sih? Aku kaget." Aku meletakkan tas sekolah di kursi penumpang bagian belakang, kemudian memasang sabuk pengaman.

Ia menahan tawa, mulai melajukan mobil.

"Kalau orang-orang tahu gimana? Terutama Jyne, temanku tadi. Kalau dia tahu, dia bisa foto kita diam-diam saat itu juga, dan dia sebarkan ke media sosial. Lalu aku jadi terkenal karena rumor palsu, kamu juga kena rumor," omelku panjang lebar.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang