Tiga Puluh Lima

56 15 4
                                    

"Halo, Ran! Aku udah di depan rumah kamu, nih. Kok kayaknya rumah kamu kosong?" Suara Brian yang ceria terdengar jelas dari seberang telepon.

Mulutku terbuka lebar, bersamaan dengan mataku yang melotot tak kalah lebar.

"Ya ampun, Brian.. Maaf, yaa! Aku lupa banget ternyata ada janji sama kamuuu soalnya aku juga lagi di luar bareng orang lain... maaf bangett, huhu.." Bibirku mengerucut. Aku kesal dengan diriku sendiri karena melupakan janji.

"Oh, gitu, kah? Nggak apa-apa, kok.. kita bisa jalan di lain waktu." Keceriaan Brian masih belum pudar meski aku membatalkan jadwal hari ini.

Ya Tuhan, bisa-bisanya aku sepikun ini. Padahal aku dan Brian sangat jarang bertemu. Di saat ingin bertemu, aku malah lupa soal janjinya.

"Maaf banget, ya, Brian? Janji deh, besok-besok kita jalan seharian, ya! Benaran!" Seruku, berusaha menghiburnya. Meski suaranya masih terdengar ceria dan ramah, belum tentu hatinya juga ceria.

"Hahahaha... nggak apa-apa, kok, cantik."

Jawabannya kali ini membuat jantungku berdebar dua kali lebih keras. Aku menelan ludah.

"Ya Tuhan maaf banget, pengen nangis aja rasanya ini please.." Aku mendadak gelisah. Mengingat tadi Brian bilang bahwa ia sudah di depan rumahku yang tak ada orang, membuatku tambah merasa tidak enak.

"Jangan nangis, dong! Meski cantiknya nggak akan hilang, sih, karena yang namanya Ran itu selalu cantik," goda Brian. Ia tertawa setelah mengatakan hal tersebut.

"Nanti malam aku ke rumah kamu lagi, deh. Kamu udah pulang, kan, nanti malam? Jam tujuh mungkin." Brian kembali memulai perjanjian yang baru.

"Sebentar, aku tanya Woonu dulu." Aku menjauhkan telinga dari telepon, bertanya kami akan pulang jam berapa.

"Kenapa, sih? Buru-buru amat." Woonu bertanya ketus, melahap roti di tangannya.

"Cepat jawab aja!" Bisikku tak kalah ketus.

"Terserah kamu aja, lah, pulang jam berapa. Kan kita kesini buat nyari keperluan kamu selama di LA." Woonu akhirnya menjawab dengan benar.

Cepat-cepat, aku mendekatkan handphone ke telinga, "Iya, Brian. Kamu boleh ke rumahku nanti jam tujuh."

"Kamu lagi sama Woonu?" Suara Brian tak se-ceria yang tadi sekarang. Pertanyaannya begitu datar.

"Eh, iya.."
"Di mana?"
"Mall."
"Dalam rangka apa? Bukannya dia kerja hari ini?"

"Dia bantuin aku nyari keperluanku selama di LA. Kan minggu depan, aku berangkat ke sana." Entah kenapa, kali ini aku menjawab dengan gugup.

"Harusnya kamu minta temani aku aja, bukan dia."

Aku menelan ludah untuk yang kedua kalinya, "Dia maksa mau ikut, katanya sekalian jadi supir karena sebelumnya, kubilang aku mau jalan kaki."

"Oh, nanti jam tujuh mau kubawain apa?" Untungnya, suara Brian kembali menghangat. Aku menghembuskan napas dengan lega.

"Nggak usah, Brian. Nggak usah repot-repot," jawabku.

"Ih, nggak apa-apa. Kenapa memang? Kamu diet lagi, ya? Awas aja kamu! Nanti kucium kalau berani diet lagi!" Brian mengancam dengan gemasnya.

Cium? Ah, sialan. Aku teringat kejadian di bukit belakang rumah lagi. Kenapa kejadian itu harus menimpaku, kemudian menghantuiku, sih?

"Kok diam? Benaran mau dicium, ya?" Goda Brian usil. Ia tertawa lagi.

"Jangan."

"Nanti kubawain susu cokelat lagi, deh. Udah lama banget, kan, kamu nggak minum susu cokelat?" Tanya Brian. Suaranya terdengar sangat antusias.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang