Tiga Puluh Tujuh

52 11 3
                                    

"Woi."

Tubuhku tersentak ke belakang, bahkan hampir jatuh dari kursi belajar. Bisa-bisanya artis menyebalkan ini memecahkan suasana sunyi nan damai di kamarku.

"APA, SIH?! KALAU MAU MASUK ITU BILANG DULU!!!!" Teriakku keras. Mungkin terdengar sampai ke luar rumah.

Yang kuteriaki malah nyengir tanpa dosa. Ingin sekali rasanya kurontokkan semua gigi putihnya itu sampai ompong.

"Tumben nggak setel lagu." Tak menghiraukan omelanku tadi, Woonu malah mengarahkan matanya ke mejaku.

"Sialan kamu, ya! Memangnya nggak bisa ketuk dulu baru masuk? Aduh.. pengen kutinju aja rasanya," geramku. Kedua tanganku memegang dada, merasakan detak jantungku yang cepat.

Lagi lagi, Woonu nyengir, "Maaf. Itu kamu kedatangan tamu spesial."

"Siapa? Mama nggak bilang ke aku, tuh, kalau mau berkunjung." Aku memiringkan kepala, berusaha mengingat siapa lagi yang ada janji denganku di rumah. Seingatku, hari ini tak ada yang mau ke rumah.

Sebenarnya, kemarin Jyne bilang bahwa dia mau main ke rumahku. Apalagi, selama ini dia tak pernah melihat rumahku. Ia bahkan tak tahu alamat rumahku di mana. Untungnya, aku bilang bahwa besok aku tidak di rumah sehingga dia tak jadi ke sini. Sepertinya agak merepotkan kalau ada teman yang ingin main ke rumahku. Woonu harus kuusir pergi dahulu sampai teman-temanku pulang. Apalagi jika nanti teman-temanku bertanya-tanya kenapa aku tinggal sendiri. Padahal nyatanya, aku tidak tinggal sendiri. Lagipula selain itu, aku menolak ajakan main Jyne juga karena tadi aku ke Dufan dengan Brian... dan Rani.

"Bukan Mama. Udah, lihat aja dulu." Woonu menutup pintu kamarku kembali. Syukurlah, ia tak lupa menutup pintu kamarku setelah pergi meski aku juga ingin ke luar kamar. Setidaknya, kebiasaan menutup pintu kamar orang lain setelah memasukinya itu bagus.

Dengan rasa penasaran, kulangkahkan kaki ke luar kamar. Perlahan, aku melangkah ke ruang tamu. Entah Woonu sudah di mana sekarang. Mungkin kembali ke kamarnya. Atau mungkin, sedang mengobrol dengan sang tamu yang tak kuketahui siapa.

Ah.. rupanya.

"Kenapa ke sini, Brian?"

Senyuman Brian mengembang begitu lebar begitu melihatku. Sudah kuduga, ia beranjak berdiri untuk menyambutku. Rupanya tak ada Woonu yang mengobrol di sana. Ah, mungkin dia di kamar.

Ini sudah malam, jam delapan. Brian tak pernah berkunjung semalam ini. Apa yang membuatnya ke sini malam-malam begini?

"Aduh.. aku kuncir rambut dulu, deh." Aku balik badan, hendak kembali ke kamar untuk mengambil kunciran.

"Nggak usah. Cantik kalau digerai."

Duh, sial. Jantungku berdegup keras sekali. Semoga suara detakannya tak terdengar sampai luar badan.

Terpaksa, aku kembali mendekati Brian, duduk di hadapannya. Entah kenapa, rasanya canggung sekarang.

Eh, sebentar. Berarti tadi saat aku berteriak pada Woonu, Brian dengar? Duh, teriakanku kencang sekali kayaknya tadi. Semoga saja nggak dengar, deh.

"Tadi kamu teriak keras banget, Ran. Aku sampai kaget." Brian tertawa, memamerkan tawa termanis sedunia. Bisa-bisa aku diabetes nanti ini.

Tuh, kan, benar! Brian mendengar teriakanku!

"Tadi aku bawa martabak manis. Udah diambil sama Woonu." Brian masih tersenyum. Benaran, deh, jantungku detakannya keras sekali setiap Brian membuka suara. Detakannya makin keras setiap ia tersenyum atau tertawa.

Brian membuka mulutnya lagi meski aku belum menyahutkan apapun, "Maaf soal Rani, ya? Dia memang gitu orangnya, caper banget. Di kampus aja suka gatel sama semua cowok."

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang