Tiga Puluh Enam

56 15 0
                                    

Hari ini, aku dan Brian berencana untuk melayat ke makam Cloud bersama-sama.

Kemarin, Brian bertanya apakah besoknya aku ada acara karena ia ingin mengajakku jalan-jalan ke Dufan. Ia yang bayarkan pula. Sebenarnya, aku agak takut naik berbagai wahana di sana, sih. Tapi tak apalah.

Kujawab tidak ada, tapi aku mau ke makam Cloud dahulu. Dia bilang dia mau ikut. Ya jadilah hari ini.

Aku sangat senang memikirkan nanti aku akan menghabiskan waktu dengan Brian seharian. Sampai tak bisa tidur semalam.

Namun sialan, ternyata ia membawa teman perempuannya.

"Halo! Gue Rani, teman kampus Brian. Gue boleh ikut, kan, nge-date bertiga bareng kalian?" Teman kampus Brian dengan rambut panjang tergerai itu tersenyum hingga gigi putihnya nampak.

Ya Tuhan, cantik sekali...

Sebenarnya, aku sudah kesal karena aku dibiarkan duduk sendiri di kursi belakang mobil. Sementara yang mengambil posisiku di sebelah Brian, ya si Rani itu.

Aku mengangguk malas. Brian hanya tersenyum melihatku dari spion depan.

"Kamu dikuncir kuda ke atas gitu cantik banget, Ran." Brian mengeluarkan suara.

Masa bodoh. Aku tak peduli dengan pujiannya itu. Hatiku sepertinya hari ini akan jadi batu karena kesal. Kenapa, sih, Brian harus ajak Rani?

"Lo panggil nama gue langsung aja meski gue lebih tua. Nggak masalah, kok. Kita bisa jadi teman hari ini." Rani menolehkan kepalanya ke arahku.

Hm. Terserah dia saja mau bicara apapun. Mulutku malas berbicara.

"Kira-kira gue ganggu nggak, ya, kalau ikut kalian?" Rani menatapku dan Brian secara bergantian.

Brian dengan cepat menjawab, "Nggak, kok! Kita malah senang kalau kamu ikut. Makin rame, makin seru."

Aku tak menyahut. Memilih menopang dagu dengan telapak tangan sambil menghadap jendela. Menatap malas orang-orang di luar.

Kenapa mereka tidak pergi berdua saja? Kenapa harus ajak aku? Atau, kenapa harus ajak Rani? Kenapa Brian tidak bilang bahwa ia akan ajak temannya? Bahkan temannya perempuan pula. Cantik sekali pula.

"Tadinya aku nggak mau ajak Rani, sebenarnya, Ran. Tapi dia maksa aku." Brian melirikku dari spion depan. Wajahnya agak gugup.

"Ih, Brian! Aku nggak maksa, tapi kamu yang maksa. Katanya biar seru kalau ada aku, kan?" Rani menepuk lengan Brian pelan.

"Dih? Ge-er banget dasar cewek. Kenapa lo jadi ikutan ngomong pake 'aku-kamu'? Jelek." Brian tertawa meledek.

Lagi, Rani meninju lengan Brian, "Jahat banget. Padahal tadi lo sendiri yang bilang makin seru kalau ada gue. Terus juga gue, kan, mau ikutan kalian. Lucu pake 'aku-kamu'."

Aku mendengus malas dari kursi belakang.

Orang pacaran kenapa selalu terlihat menyebalkan? Kecuali aku yang pacaran dengan Brian. Itu baru tidak menyebalkan, bahkan menyenangkan.

"Oh, ya, aku baru sadar ternyata nama kita mirip. Ran, dan Rani." Rani membuka suara kembali setelah puas meninju manja lengan Brian.

"Nggak usah pakai 'aku-kamu'. Jadi nggak lucu kalau lo yang bilang." Brian meledek Rani lagi.

"Jahat, lo! Gue lagi ngomong sama Ran, ya, bukan sama lo!"

Aku ingin mengumpat saja rasanya.

🦋

Sialan. Benar-benar sialan. Sial dari yang paling sial. Sepanjang kami di Dufan, Rani terus menempel pada Brian. Seolah tak mau lepas. Ia bahkan tak jarang kulihat sedang memegang lengan Brian saat naik wahana. Ya beginilah nasib.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang