Tiga Puluh Tiga

82 15 5
                                    

"Tumben laju mobilnya lambat banget. Kamu sengaja biar lama di dalam mobil sama aku, ya? Halah, ngaku aja," ledekku sengaja.

Sedari tadi, Woonu melajukan mobilnya lebih lambat dibanding biasanya. Tumben sekali.  Kuperhatikan, sudah berkali-kali mobilnya didahulukan oleh mobil lain yang juga melaju di jalan raya.

"Nggak jelas kamu, Ran."
"Jelas, lah."
"Kayaknya kamu udah lapar, ya? Ngocehnya dari tadi nggak jelas banget."

Aku mendengus sebal, "Makanya jangan kelamaan nyetirnya. Lama-lama aku yang nyetir aja sini."

Kepala Woonu tergeleng dengan cepat, "Emang kamu bisa nyetir?"

Kali ini, gantian kepalaku yang tergelang.

"Mau nyari mati, ya?"

"Iya, nih. Mau ke surga nyusul temanku yang udah duluan," candaku. Aku menahan tawa menunggu reaksi Woonu terhadap perkataanku tersebut.

"Jangan bercandain soal kematian. Kamu pikir lucu?" Seketika, suara Woonu berubah serius. Entah kenapa, ketika suara Woonu berubah serius seperti itu, perasaanku jadi tidak enak.Selain itu, aku baru tersadar bahwa candaanku soal kematian seperti itu memang berlebihan.

"Iya, maaf."

Woonu menginjak pedal gas lebih keras, membuat laju mobil semakin cepat. Bahkan lebih cepat dibanding biasanya. Mampu membuatku berpegangan erat pada sabuk pengaman.

"Woonu! Jangan ngebut, ih!" Protesku. Aku sengaja menaikkan nada suara.

Pria yang duduk di sebelahku melirik ke arahku dengan ekor matanya, "Katamu mau nyusul temanmu yang udah duluan itu? Jadi, ya, kutemani."

"Jangan ngaco, deh!"
"Kamu sendiri yang ngomong, loh."
"Aku cuma bercanda, Woonu. Maaf, deh, maaf!"

Woonu tertawa kecil, memelankan laju mobilnya. Injakan kakinya pada pedal gas berkurang, bersamaan dengan detakan jantungku yang perlahan kembali tenang.

"Ran."

Aku tak menjawab, memilih untuk memerhatikan suasana jalanan dari samping kaca jendela.

"Ran."

Lagi, aku tak menjawab. Sengaja betul membuat Woonu sebal.

"Sebelum kita ke restoran, kita ke dokter dulu, yuk?" Tiba-tiba, Woonu mengajakku.

Kepalaku dengan cepat tertoleh ke arahnya dengan dahi yang mengerut, "Dokter? Ngapain? Kamu sakit?"

Kepalanya tergeleng. Ia tersenyum tipis tanpa menatapku, "Kayaknya kita harus ke dokter THT buat periksa telingamu. Dari tadi kupanggil nggak disahutin terus."

Aku menghela napas lega. Nggak tahu kenapa, aku cuma lega.Padahal aku baru saja diledek.

"Benar mau kuantar ke dokter? Kok perkataanku nggak dibantah?" Tanya Woonu bingung. Dasar aneh.

"Aku udah capek sih sama kamu. Lebih baik diam aja dibanding makin capek," jawabku santai.

Dengusan kesebalan Woonu terdengar jelas dari posisiku sekarang. Ia memutuskan untuk tak mengeluarkan kalimat apapun lagi. Mungkin sebal karena ucapanku barusan. Ngambek seperti itu hanya membuatnya terlihat lucu.

"Maaf, maaf.. kamu jadi kelihatan lucu.." pujiku ringan, tertawa.

Ah, aku tak tahu itu termasuk pujian atau malah ejekan. Kutatap wajah Woonu yang sekarang berkunjung memerah. Ia mengulum bibir begitu mendengar kalimat yang kulontarkan. Menurutku, itu hanya ledekan kecil. Tapi mungkin menurut Woonu, itu adalah pujian besar dalam hidupnya.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang