Tiga Puluh Dua

79 14 1
                                    

Kepalaku celingak-celinguk. Pikiranku bertanya-tanya ada di mana-kah aku ini. Entah bagaimana bisa, tiba-tiba aku ada disini.

Taman dengan rumput hijau subur yang dikelilingi banyak bunga warna-warni. Bunga mawar, bunga melati, bunga matahari, lavender, dan aneka macam bunga yang lain berjejer indah di semak-semak. Bahkan mungkin semua jenis bunga ada di taman ini.

Tampak juga beberapa permainan anak-anak seperti ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan sebagainya.

Ada banyak anak-anak yang sedang bermain, saling berkejaran. Mereka bersenang-senang di sini. Ekspresi bahagia terukir di wajah mereka. Benar-benar menghangatkan hati begitu melihatnya.

Seorang anak perempuan dikepang dua yang sedang menenteng es krim vanila di tangannya terjatuh tiba-tiba di hadapanku. Membuatku tersentak kaget.

Ia duduk sejenak meratapi es krimnya, kemudian menangis sesenggukan.

Melihat gadis kecil tersebut menangis, seorang anak laki-laki yang tampak seumuran dengan anak perempuan dikepang dua tersebut menghampiri tempat temannya itu terjatuh. Wajah tampannya terlihat begitu datar, tanpa ekspresi apapun.

Tanpa mengatakan apapun, anak laki-laki tersebut membantu sang anak perempuan untuk berdiri.

Selanjutnya, dia menepuk-nepuk puncuk kepala sang anak perempuan untuk menenangkannya.

Gemas betul melihatnya.

Anak laki-laki itu kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah permen kaki berwarna merah.

Aku memiringkan kepala singkat begitu melihat permen kaki berwarna merah tersebut dikeluarkan dari kantung sang anak laki-laki.

Pria kecil nan menggemaskan itu menyerahkan permen kaki yang ia pegang kepada teman perempuannya tersebut. Masih tak mengatakan apapun sama sekali. Bahkan wajahnya pun sama datar.

Sang anak perempuan tersenyum senang. Kedua anak menggemaskan tersebut saling berjabat tangan.

Tanpa mengucapkan kata "Terima Kasih", anak perempuan dengan rambut yang dikepang itu berlari menjauh. Ia membiarkan teman laki-lakinya berdiri sendirian di hadapanku.

Alisku saling bertaut begitu anak laki-laki tersebut menoleh ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan datar.

Matanya sayu dengan bola mata hitam pekat, alisnya tebal, kulitnya putih seputih susu, rambutnya cokelat muda berponi, hidungnya mancung, bibirnya pucat.

Wajahnya terlihat lelah.

Aku tak tahu lelah soal apa, namun wajahnya lesu sekali. Meski ekspresinya lesu, wajahnya nyaman untuk ditatap.

Anak laki-laki itu merogoh sakunya yang satu lagi, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih polos. Ia menyerahkan kotak kecil tersebut padaku tanpa mengatakan apapun.

"Untukku?" Tanyaku, menerima pemberian anak kecil tersebut.

Seketika, tanganku terasa dingin entah kenapa. Tubuhku juga merinding. Bulu kudukku berdiri. Perasaanku berubah tidak enak.

Seolah ada hal buruk yang akan menimpaku.

Anak laki-laki tersebut benar-benar tak mengatakan sepatah kata-pun, hanya menatapku datar. Hingga akhirnya, ia berlari menjauh dengan sikap anehnya.

Jujur saja, aku agak takut dengannya. Meski dia cuma anak laki-laki kecil yang tampan dan datar, auranya tidak mengenakkan. Aneh dan menyeramkan, misterius gitu.

Karena penasaran, kuputuskan untuk membuka kotak kecil putih pemberian anak laki-laki tersebut.

Kali ini, alisku terangkat, bersamaan dengan tanganku yang membuka kotak. Mataku menangkap beberapa keping permen berwarna merah yang patah. Berantakan. Sepertinya permen ini serupa dengan milik anak perempuan tadi. Namun bedanya, anak laki-laki tadi memberiku yang hancur.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang