Tiga Puluh Satu

80 20 2
                                    

"Halo, Woonu? Kamu masih di kantor agensi, ya?" Tanyaku lewat telepon.

Tadi siang setelah diantar Brian pulang, kulihat rumah dalam keadaan kosong. Kupikir, mungkin Woonu sedang di kantor agensi. Woonu mengatakan lewat chat bahwa akan pulang saat sore.

Sembari menunggu Woonu pulang, aku memutuskan untuk berbaring di sofa depan TV sambil nonton hingga ketiduran. Sampai jam sembilan malam, aku baru terbangun, dan dia masih belum menampakkan dirinya disini. Kutunggu kedatangannya sampai jam sepuluh, dia belum ada juga.

"Hai, Ran. Kamu bisa datang ke bukit belakang rumah? Tahu, kan?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Woonu malah memintaku melakukan hal lain.

"Udah jam sepuluh. Ngapain?" tanyaku, melirik jam dinding.

"Nggak apa-apa. Ke sana aja."
"Kamu udah di sana? Atau masih di jalan?"

"Udah di sini sejak dua jam yang lalu." Jawabannya kali ini membuatku kaget bukan kepalang.

Mataku membelalak tanpa sengaja, "Kenapa nggak bilang?"

"Udah, kok."
"Kapan?"
"Lewat chat. Kamu belum baca?"

Mulutku terbuka, "Aku daritadi nggak buka handphone, ketiduran soalnya. Maaf, yaaa."

Terdengar tawa Woonu dari sini, "Nggak apa-apa, kok. Kamu pasti capek, kan?"

"Ya udah. Aku otw ke sana, ya!" Seruku panik. Kasihan sekali Woonu dari tadi.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Woonu memutus sambungan telepon begitu saja. Membiarkanku sendiri panik di rumah. Woonu sudah menunggu lama sejak tadi. Bodoh sekali aku!

Dengan cekatan, kupakai cardigan biru dongker yang tergantung di belakang pintu kamarku. Aku harus pakai cardigan karena sekarang, aku sedang memakai kaus putih tanpa lengan, sementara kondisi di luar begitu dingin. Rok panjang juga kukenakan untuk menutupi celana hitam selututku.

Aku mematikan TV, memakai sandal jepit di teras, kemudian mengunci pintu. Tak lupa, kubawa juga kuncinya.

Cepat-cepat aku melangkah memutari deretan rumah-rumah warga lain, berjalan secepat mungkin menuju bukit belakang.

Sejujurnya, aku agak takut kesana sendirian. Apalagi malam-malam begini, menyeramkan. Takut ada orang jahat yang berbuat macam-macam.

Takut hantu juga, hehe.

Setelah perjuangan keras mendaki bukit kecil yang bahkan tak terlalu tinggi, akhirnya aku menemukan sosok Woonu yang sedang berdiri bersandarkan balkon. Aku baru tahu rupanya ada balkon dan beberapa lampu penerangan disini yang menyinari jalan setapak. Beberapa bunga ungu terlihat sedikit bersinar dari sini.

"Woonu! Huuh, akhirnya sampai!" Seruku penuh kebanggaan.

Manusia yang kupanggil namanya tersebut memutar badan, tersenyum melihatku akhirnya sampai. Ia sedikit tertawa menontonku yang susah mengatur napas.

"Maaf, ya, kamu jadi kelelahan gini," ucap Woonu.

Tentu saja kumaafkan, meski ucapan maafnya terdengar tak ikhlas sama sekali.

"Harusnya aku yang minta maaf karena cuekin pesan kamu dan bikin kamu nunggu lama banget di sini. Pasti dingin, ya? Tapi untungnya kamu pakai syal, sih." Aku menatap syal abu-abu yang menyelimuti leher Woonu.

"Ada untungnya juga kamu ketiduran di rumah. Pertama, tubuhmu jadi nggak terlalu capek setelah wisuda tadi. Kedua, pemandangan lampu-lampu malam lebih indah dibanding sunset tadi sore." Woonu menepuk-nepuk pundakku.

"Tapi kamu jadi nunggu lama. Maaf banget, maaf, maaf, maaf!" Ucapku berkali-kali, mampu membuat tawa Woonu pecah begitu saja.

Aku berdiri di sebelahnya, menyandarkan lengan ke balkon.

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang