Satu

1.3K 128 55
                                    

Bungkus makanan berserakan dimana-mana. Pakaian bekas pakai juga menyebar ke segala penjuru rumah. Beberapa remahan roti dan makanan lain juga tampak mengganggu kebersihan. Sementara pelaku dari semua kekacauan ini, sedang berbaring nyaman di sofa yang kotor. Tentu saja tidur.

"Kenapa tidak dibersihkan? Kamu kan sedang disini selama aku sekolah." Mataku terarah ke seorang wanita berambut pirang panjang yang duduk sok manis di kursi kecil.

"Ini rumahmu, tanggung jawabmu," jawabnya santai, tak melepas pandangan dari handphonenya.

"Dan ini juga rumah pacarmu, kan? Pacarmu, ya tanggung jawabmu," balasku kesal.

Wanita tersebut menatapku tajam, dari atas ke bawah. Aku balas menatapnya, tidak takut meski dia lebih tua dariku.

"Dia cuma pacar, bukan suami. Belum jadi tanggung jawabku."

Aku menghela napas pasrah sembari berjalan ke arah kamar. Terserahlah. Selalu begini. Setiap hari, setiap saat.
Bisa-bisanya manusia paling merepotkan sedunia tinggal di rumahku. Kenapa mama harus menitipkan pria sialan itu disini? Bukankah dia sudah besar? Bukan manusia yang harus diurus lagi. Bahkan dia sudah punya pacar. Dia juga musisi terkenal. Uangnya berlimpah. Kenapa masih numpang tinggal disini? Tidur, makan, bermalas-malasan saja kerjaannya. Sekadar bereskan rumah saja dia enggan. Pacarnya juga. Setiap hari kesini, menemani sang pria. Semakin menyusahkan.

Di depan kamera selalu terlihat berwibawa, banyak senyum, jaga image. Namun saat di rumah, sikapnya manja. Sangat berbeda. Sama saja dia menipu kamera. Apa semua artis memang begitu?

Namun bodoh, aku malah jatuh cinta. Pada siapa? Ya pria menyebalkan itu, siapa lagi? Jangan tanya aku alasannya kenapa. Karena aku juga tidak tahu. Toh nggak harus ada alasan kan dalam jatuh cinta?

Kuletakkan tas sekolahku di meja kecil sebelah meja belajar, kemudian duduk di kursi belajar. Untuk kesekian kalinya, aku menghela napas.
Kuraih ikatan rambut yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikat rambutku yang sudah lumayan panjang. Padahal baru dua minggu kemarin kupotong, tapi sudah panjang saja.

Kubuka tas ranselku, mengeluarkan beberapa buku sekolah yang tadi kubawa dan tempat pensil.
PR hari ini cukup banyak. Setiap hari, mengerjakan PR tak pernah absen dari keseharianku. Selalu saja ada PR setiap hari.

Oh ya, aku belum buka handphone sejak pagi. Jujur, belakangan ini aku agak malas buka handphone. Lagipula di handphoneku hanya ada media sosial, galeri, kalkulator, kalender, aplikasi untuk pesan chat, dan situs pencarian. Aku tidak terlalu suka main game apapun. Jadi menurutku, handphone itu membosankan. Bagaimana bisa orang-orang lebih suka memainkan handphone dibandingkan mengobrol dengan orang lain saat sedang berkumpul bersama teman?

Aku merogoh saku rok, mengeluarkan handphone dengan case putih, dan membukanya.

Ada lima pesan masuk. Sudah bisa kutebak dari siapa. Tentu saja dari Brian. Murid dari sekolah favorit yang sejak dulu selalu mengikutiku. Brian sudah terkenal di sekolahku sejak dia datang menjemputku tahun kemarin. Padahal sudah kularang untuk datang ke sekolahku karena pasti nantinya dia akan dijadikan incaran gadis-gadis sekolahku, namun ia tetap saja datang.
Kubuka pesan darinya. Kira-kira isinya begini.

| Brian🐻 |
—udah sampai rumah?
—hoi
—tadi bukumu ada di perpustakaan sekolahku
—kok bisa, ya?
—buku yang kamu beli bareng aku di toko buku saat itu, kok bisa ada di perpustakaanku, ya?

Bibirku tersenyum tipis. Manusia aneh, pikirku. Jariku mulai menari di atas keyboard handphone, mengetikkan sesuatu.

—kamu bodoh?
—buku itu dijual di toko buku, siapapun boleh membelinya.
—bukan cuma aku yang beli buku itu. dasar bodoh, haha

Ran dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang