18. Always I'll Care

479 88 3
                                    

Dikta masih bertapak pada kenyataan. Lelaki itu hanya terdiam di kamar utama. Membiarkan telinganya saja yang berfungsi untuk memahami kejadian dari satu detik ke detik berikutnya.
Kemudian tak butuh waktu lama suara motor Yuda yang perlahan kecil lalu hilang langsung disambar oleh derap langkah cepat yang mendekat ke arahnya. Dikta tau sisa orang yang ada pasti penasaran dengan apa yang sesungguhnya sudah terjadi tadi. Lelaki itu menoleh saat didengarnya pintu kamar utama dibuka sedikit lebih lebar dan memunculkan pasutri pemilik rumah yang beraut wajah super penasaran.

"Jadi lo berdua kenapa lagi?"  Johnny lebih dulu buka suara.

Dikta tak langsung menjawab, dia hanya balas menatap pasutri itu bergantian. Lalu tiba-tiba sosok Jeff muncul diantara keduanya dan sama-sama memberikan tatapan penasarannya.

"Gapapa. Salah gue. Tadi Bian pake helm nggak?"
     
Dikta bertanya dengan suara pelan. Sarat akan perasaan bersalah. Ketiga orang lainnya lebih lagi Joya yang tadinya udah siap nge gas langsung urung karena mendengar nada pasrah lelaki itu. Jarang-jarang Dikta seperti ini.

"Enggak. Oh iya ya. Sorry sorry gue gak kepikiran ngasih pinjem tadi." Johnny merespon. Mendahului sang istri yang masih sibuk merangkai reaksi.

Dikta tak lanjut bicara. Lelaki itu mengusap wajahnya sebentar lalu berjalan keluar dari kamar utama. Hening mengiringi langkah Dikta menuju sofa ruang tamu. Namun, tiba-tiba kekehan kecil Jeffrey menarik seluruh atensi yang ada. Bahkan Dikta langsung menoleh tajam ke arahnya.

"Maaf maaf gue tiba-tiba ngerasa lucu aja liat Lo begini." Jeff membela diri.

Memang betul yang Jeff bilang, Dikta yang kelimpungan itu lucu. Terlalu kontras dengan keseharian cowok itu sebab Dikta aslinya memang bukan tipe manusia yang panikan. Tapi sekalinya panik..... dunia seakan diajaknya panik bersama.

"Suara di kamar emang beneran enggak kedengeran?" Tanya Dikta yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu dengan posisi sender bahu khas orang-orang lagi capek dan pengen rebahan.

"Ya beneran lah!" Joya reflek bersuara.

"Bianca belum mau resign. Dia tetep kerja besok. Salah gue yang marahin dia tadi. Gue gak sengaja ngomel." Dikta mulai bercerita.

"Lo bentak-bentak?" Lagi, Joya langsung bersuara.

"Gak sengaja."

Tanpa pikir dua kali Joya langsung melempar bantal yang belum ada satu menit dipangkuannya tepat ke arah wajah Dikta. Udah kepalang mau marah, "dah berapa kali dibilangin kalo julid jangan pake nada tinggi. Lu ngomong nada biasa aja udah nyelekit nyet!"

"Ya. Udah dah puyeng kepala gua." Pasrah Dikta.

Ributnya Joya dan Dikta memang selalu jadi bahan recehnya Johnny beserta Jeffery. Mereka berdua dari tadi hanya jadi tim ketawa pake tipe suara bapak-bapak.
Yang grup berempat sejauh ini terlibat, pagi itu bukan kali pertama Dikta dan Bianca marahan. Sebelumnya pernah. Tapi ya memang marahannya calon pasutri tersebut bermodelkan begini. Bianca tipe yang mengalah. Wanita itu tidak suka berdebat panjang lebar dan lebih suka ambil jeda dengan menghindar. Karakter wanita itu dirasa mereka sangat cocok dengan sisi Dikta yang tiba-tiba suka ngegas dan kalo diajak debat tidak akan berhenti kalau belum menang.

Bertahun-tahun setelah hubungan keduanya terjalin para anggota grup berempat sudah sangat  merasakan perubahan drastis dari tingkat kesabaran seorang Dikta Prakasa. Walaupun aslinya sabar Dikta cuma lebih spesial untuk Bianca, tapi mereka bisa merasakan kalau efek dari mencintai Bianca juga banyak mempengaruhi keseharian Dikta dalam bersikap. Salah satunya Dikta yang sekarang selalu pasrah kalau lagi salah. Enggak akan cari pembelaan, hanya ada maaf dan sebuah keinginan untuk bertanggung jawab.

[✔️] Kapan NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang