Terimakasih atas segala support ya!
Dikta melajukan mobilnya tanpa tujuan yang jelas selama berjam-jam lamanya. Hanya mengikuti arus lurus dari Jalan Raya Bogor yang malam itu lumayan ramai dengan isi kepala yang tak kalah ramai. Segala 'mungkin...' mulai mendominasi, dan beberapa 'mungkin...' paling buruk yang pernah terlintas dibenaknya sedang berkobar-kobar. Menertawai komitmennya yang tersulut, menertawai satu ingin yang lagi-lagi di telan semesta hingga habis tak bersisa.
Dikta bahkan tidak tau bagaimana harus bereaksi. Memukul sesuatu?
Melempar sesuatu?
Atau langsung saja menabrak sesuatu?!
Dikta tak bisa pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Kacau balau. Dia bisa tambah kacau kalau sang ibunda mengajukan tanya padanya. Dia tidak bisa bicara dengan tenang sekarang. Dia bisa meledak.
Dari lubuk hatinya yang terdalam Dikta mulai mengakui kalau rasa kecewa itu ada. Dikta kecewa, sekecewa itu dengan cara Bianca bersikap tadi. Kenapa tidak langsung saja memberi ucapan terimakasih sebagai orang yang ditolong saja sih? Kenapa wanita itu bersikap seakan apa yang hampir melecehkannya adalah sebuah kesalahpahaman kecil yang bisa diluruskan. Seakan-akan hanya bogeman mentah yang ia layangkan yang salah di sini. Seakan-akan perlindungan yang ia berikan tak bernilai apa-apa di mata wanita itu dan hanya menjadi sumber kerepotan baru.
Jadi, apa benar Bianca ada main sama Alendra?
Dikta mau marah saja jika kalimat paling bajingan yang lewat dibenaknya itu terus berulang bagai kaset rusak. Dia mau marah, tapi entah pada siapa. Dia ingin berteriak, namun entah kemana. Dia hanya ingin, semua kecamuk ini pias.
Sudah beberapa rute ia ulangi namun logikanya tak kunjung bisa menerima apa yang sudah terjadi, apalagi hatinya. Ingin menyangkal tapi kenyataan sudah memberinya banyak penjelasan, menamparnya telak.
Malam itu Dikta dibuat kesulitan bersikap, dia tidak tau apa yang bisa ia lakukan setelah ini.
Mendengarkan penjelasan Bianca langsung? Dia takut.
Takut bahwa semua buruk adalah nyata.
Kalau benar bagaimana?
Kalau... dia harus melepas, bagaimana?
Tak pernah sekalipun Dikta membayangkan hidup yang tidak ada Biancanya sejak hari itu. Sejak sebuah malam bersama dua jagung bakar, dua gelas teh manis hangat, dan dua denim yang mendekap keduanya. Malam di mana, semua kisah ini secara resmi bermula.
Malam semakin larut. Jalanan yang dilaluinya makin sunyi. Dikta melirik sedikit ke arah jam yang terletak di atas speaker radio mobilnya, lalu tersenyum miring. Selanjutnya Dikta menepi ke sembarang ruko yang tutup, mematikan mesin mobil dan sekali lagi membuang napas frustasi yang kesekian kali untuk malam itu.
Dikta mungkin bisa membohongi satu semesta, tapi tidak dengan dirinya sendiri. Dia tau apa yang ia perlu dan apa yang ia mau. Dan satu kalimat berikut ini adalah ucapan yang tetap akan terpatri apapun yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Kapan Nikah
Romansa[Selesai] "Kapan nikah?" Adalah pertanyaan yang hampir tiap hari di dengar Dikta dari beraneka ragam makhluk yang katanya manusia. Kata manusia, 7 tahun pacaran bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal pasangan; lebih lagi sudah sama-sama...