20. Negosiasi

393 80 9
                                    

Terimakasih atas segala supportnya, ya! <3

POV kali ini pake Bianca :)

              

            

BIANCA POV

               

"Gimana sih kak? Undangan belum. Catering entar. Bagiin kain nanti. Ya allah. Kamu ini mau kapan sih nikahnya?"

Saya menghela napas frustasi kesekian kali untuk hari ini. Mendengar cerocos ibu bikin kepala saya berdenyut kian hebat.

"Bu, kakak lagi banyak kerjaan. Minggu depan kalo gak cape kakak beresin. Kakak aja dari kemaren kalau udah selesai biasanya langsung tidur. Ini karena ibu telpon aja jadi masih melek."

"Emang Dikta enggak bantu kamu ngurus?"

Hah.

"Justru yang udah kelar itu banyakan dia yang ngurus, Bu. Aku bagi-bagi sama dia. Yang bagian aku akunya belum sempet."

"Yasudah. Ibu cuma ngingetin aja. Kan kamu sendiri yang maunya cuma ngurus berdua, kalo keteteran bilang biar ibu bantu."

"Iya."

"Yaudah kakak istirahat aja. Ibu tutup telponnya ya."

"Iya."

"Wassalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

              

Malam ini adalah malam kedua saya di Bandung. Stress banget rasanya makin ke sini. Mana badan saya kayak yang gak sembuh-sembuh dari sabtu kemarin. Panas naik turun.

Asdfghjkl.

Saya gak tau sebetulnya saya ini masuk angin apa gimana, intinya badan saya gak enak terus. Bawaannya lemah letih lesu. Enggak semangat.

Ponsel saya bilang suhu Bandung jam setengah sepuluh malam ini adalah 19 derajat. Pantes aja tangan saya ngilu. Di balkon kamar hotel kini saya hanya berdiri dengan kaos tipis dan celana training buat tidur. Bener-bener deh, cuma sekedar buat ambil jaket biar gak kedinginan aja saya pun enggak semangat.

Btw, pesan yang Kak Dikta kirim kemarin sampai saat ini belum saya balas. Dia juga enggak mengirim pesan lagi karena mungkin udah dapat kabar saya lewat Rakha. Saya tau banget. Dari kemarin Rakha banyak tanya keadaan saya dan bisa saya pastikan itu pasti suruhan dia.

Telpon dari ibu tadi cukup keras menampar kusutnya pola pikir saya. Saya lagi kelimpungan. Kelewat bingung harus menata yang mana dulu selain kerjaan minggu ini. Fokus saya kebanyakan buyar.

Bagian saya menampar pipinya hari itu adalah rotasi utama dari segala runyam. Pikiran saya bercabang pada kenyataan bahwa saya ternyata bisa menyakiti dia tanpa saya pikir lagi. Sekeras-kerasnya saya mendidik diri untuk dewasa dalam bersikap, nyatanya saya juga bisa kalah dari suatu bagian dalam jiwa bernamakan emosi.

Sisi overthinking saya meronta-ronta ingin mengirim pesan maaf padanya, namun bagian diri saya yang lain lebih meninggikan gengsi dan sibuk berputar dalam memori masa kecil yang kelam.

Dulu sewaktu kecil, ada masa dimana melihat ayah menampar ibu adalah pemandangan saya hampir tiap malam. Saya tidak bisa mengerti apa salahnya ibu saya, yang saya hanya ingat hanya kuping saya yang berdengung hebat karena teriakan kencang dan pandangan nanar saya yang secara sukarela melihat aksi keji tersebut.

Waktu itu saya hanya seorang perempuan mungil yang hampir setiap pagi pergi ke taman kanak-kanak kemudian sorenya pergi ke Tempat Pengajian Anak seorang diri. Sebab jarak keduanya cukup dekat dari rumah. Saya berangkat seorang diri sejak hari ke dua sekolah karena ayah saya berangkat kerja lebih pagi sementara ibu saya kerepotan mengurus adik kecil saya yang masih seukuran bantal guling waktu itu sehingga tidak ada pilihan lain selain membiarkan saya berkelana seorang diri.

[✔️] Kapan NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang