Cerita Ketujuh

2.4K 253 11
                                    

"Mama, ada olang kasih kulma..." Taya menghampiri mamanya yang sedang menunggu mereka pulang dari masjid dengan semangat.

"Siapa yang kasih Bang?" tanya Baheera gemas dengan kelakuan putranya.

Pagi-pagi sekali Taya sudah membawa pulang oleh-oleh. Sepertinya dari masjid.

"Pak ustad masjid sana. Ada kulma sama teh kata Ayah, tapi Taya di kasih kulma ini. Manis-manis, Taya bawa pulang buat Mama."

Baheera meringis geli mendapati kurma yang diberikan oleh putranya, untungnya kurma yang dibawa oleh Taya tersimpan dalam plastik klip kecil, isinya juga tinggal satu.

"Terimakasih yah Abang sudah bawain pulang buat Mama. Abang sudah makan kurmanya?"

Baheera menerima dengan antusias. Agar putranya juga senang.

"Sudah, Taya satu, Ayah satu, Mama satu. Ada tiga loh, Taya shaling sama Mama sama Ayah. Taya bawa pulang. Mama happy ndak?"

Bocah gembul itu malah rebahan sembarangan di karpet ruang tamu mereka, sajadah dan pecinya ia letakkan sembarang saja.

"Ayo simpan dulu sajadah sama pecinya, Ayah juga mau siap-siap berangkat kerja nih." Byakta mengintrupsi kegiatan rebahan putranya itu.

"Ikut Ayah sana, simpan yang rapi dulu punyanya. Nanti hilang Abang jadi sedih."

Bocah gembul itu terlihat enggan, namun tak membantah. Setelah mengambil kembali sajadah dan peci yang ia letakan begitu saja tadi, Taya segera saja mengikuti langkah ayahnya.

"Ayah mau mana?"

"Mau siap-siap, Ayah mau berangkat kerja Bang." Jelas Byakta sabar. Padahal putra gembulnya itu tahu setiap hari ia berangkat kerja.

"Ndak main lumah? Taya ndak kelja, Mama juga di lumah. Mama kelja lapi-lapi lumah. Taya bantu tidy up." Celotehnya panjang.

"Simpan yang rapi Bang, kan nanti Abang bantu Mama tydi up."

Byakta segera menegur putranya begitu melihat gelagat Taya yang akan melempar sajadahnya sembarangan.

Bocah gembul itu meringis merasa bersalah dan segera menyimpan barangnya dengan rapi. Setelah urusan putranya selesai Byakta membiarkan mengikuti langkahnya ke kamar. Ia harus segera bersiap-siap untuk berangkat kerja.

"Abang kalau lompat kasur nanti rapiin lagi yah, kasian Mama sudah rapiin kasurnya."

Oke, Taya mengurungkan niatnya untuk lompat-lompat di kasur orang tuanya. Ayahnya tahu saja dengan gelagatnya.

"Ayah, Taya boleh ikut kelja ndak?" tanyanya kemudian.

"Abang mau kerja?"

"Huuh, pelgi kelja naik mobil jauh sana. Ayah kelja naik mobil. Om Angga juga, Om Dyast naik mobil, Anteu Balqis juga." Bocah gembul itu menghitung orang dewasa yang ia ketahui bekerja dengan mobil.

Tinggi sekali standar kehidupannya.

Dasar Taya.

"Kalau mau kerja tunggu Abang besar dulu yah. Insyaallah Ayah sama Mama bisa kok biayain Abang." Byakta tak bisa membayangkan putra gembulnya itu bekerja di usia dini.

Yang ada mereka nanti di bilang eksploitasi anak lagi.

Selain itu, Byakta dan Baheera bisa tinggal nama saja kalau membiarkan cucu kesayangan kedua keluarga ini bekerja di usia dini. Tidak bisa dibayangkan.

"Besal apa? Lama ndak?"

"Nanti kalau Abang sudah kuliah, sudah sekolah."

"Kelja kaya Ayah?" tanyany memastikan. Masalahnya kerja menurut versi Taya itu seperti ayahnya, walaupun bocah gembul itu tidak tahu apa yang dilakukan ayahnya.

"Iya, bisa bekerja seperti Ayah atau pun tidak. Nanti banyak pilihan kok."

"Lama ndak? Bisa main Dino?"

Byakta terkekeh gemas mendengar pertanyaan putra gembulnya itu. Taya masih sabar mengekori ayahnya yang berganti pakaian sejak tadi. Benar-benar diikuti setiap langkahnya.

"Kalau sekarang Abang main Dino saja dulu yang banyak. Tidak apa-apa kok, nanti kalau besar, sudah kerja harus serius."

"Serius apa?"

Byakta berdehem pelan, kebingungan sendiri menjelaskan.

"Nanti kalau Abang besar baru bisa kerja yah. Yuk kita sarapan, Ayah mau berangkat kerja nih." Byakta mengalihkan pembicaraan, selain itu waktu juga semakin mepet dan ia harus segera sarapan dan berangkat.

"Ayo maam."

Nataya and DinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang