Cerita Kedua Belas

2.3K 234 8
                                    

"Mama, itu hujan masih tulun."

Taya mulai bosan. Sudah tidur siang, mandi hujan, nonton Dino Train, dan sekarang bocah gembul itu bingung ingin apa.

"Iya nak, masih hujan. Tapi sudah tidak deras lagi."

Baheera membiarkan Taya membuka pintu samping rumah mereka. Angin dingin langsung terasa.

"Mama tanam-tanam lumput Mama?" Taya kembali teringat dengan rumput yang sudah ia cabut pagi tadi.

Niatnya Taya mau bantu mama kok. Ternyata itu bukan rumput. Tapi bawang. Umm bentuknya sama kok, kan Taya jadi bingung.

"Masih hujan Bang, besok saja."

"Ndak sekalang?"

"Nggak."

"Kok ndak sekalang?"

Sepertinya Taya tak mau memahami arti kata 'besok'.

"Hujan Bang, nanti hachim hachim kalau kena hujan."

Baheera malas keluar hanya untuk menanam kembali daun bawang yang dicabut putranya itu. Rencananya malah mau di sayur saja, tidak usah ditanam kembali.

"Ndak hachim hachim Mama. Taya main hujan ndak tuh."

Ada saja alasan bocah gembul itu.

"Tunggu Ayah pulang aja Bang, sudah sore jangan main keluar lagi."

"Ayah kelja lama.." keluhnya sok tua.

Astaga ada saja kata ajaibnya.

" Iya, biar bisa dapat uang. Bisa beli makan, beli mainan Taya, banyak deh."

"Mama hujan tulun batu ndak?"

Taya memandangi pintu samping rumah yang ia buka dengan penuh minat. Menikmati gerimis yang masih saja turun dengan awet.

"Hujan batu?"

"Iya, batu, ndak ail?" tanyanya lagi.

Baheera tak yakin apakah pernah ada fenomena alam yang turun hujan batu. Sejauh yang Baheera tahu hanya hujan es batu saja pernah melanda Indonesia.

"Nggak pernah ada Bang hujan batu. Tapi kalau hujan es batu pernah ada."

Bocah gembul berlari ke arah pintu samping. Memastikan jika hujan air, bukan hujan batu ataupun hujan es batu.

"Ail Mama, ndak es batu itu." lapornya kemudian.

Taya yakin kok. Tadi pagi juga kan dia mandi hujan.

"Iya nak. Hujan biasa aja hari ini. Bukan hujan es." gemas sekali Baheera dengan putra gembulnya itu.

Seperti boneka hidup, teman main, serta ujian kesabaran juga.

"Taya mau hujan es Mama, nanti dingin." pintanya kemudian.

Baheera ingin menangis, ada-ada saja permintaan bocah gembul itu. Mana bisa mamanya itu menghadirkan hujan es batu sesuai permintaan.

"Hujan biasa saja Bang, jangan hujan Es. Nanti bahaya. Kalau kena tubuh bisa sakit."

"Ndak es klim?"

"Hujannya? Atau apa Bang?"

"Hujanya Mama." gemasnya. Uh mama kok nggak paham sih.

"Esnya bukan yang lembut nak, tapi besar seperti kerikil. Jadi nggak bisa di buat es krim."

"Ayo Mama, tulun hujan es sama batu." pintanya polos.

Baheera tak bisa lagi berkata-kata. Tukar tambah anak ada tokonya tidak yah.

"Nggak bisa dong Bang. Kan yang kasih hujan itu Allah. Abang berdoa saja sama Allah, tapi Allah lebih suka kalau Abang doa yang baik-baik sih nak."

"Doa sama Allah, 'Allah kasi Taya hujan batu, Taya mau punya kelikil banyak buat main tluk.' Doa gitu Mama?"

Baheera tak bisa berkata-kata. Walaupun terdengar polos tapi sejujurnya Baheera takut kalau Allah mengabulkan doa putra gembulnya itu.

Hujan batu seperti di azab mungkin.

"Kalau doa yang baik bagaimana?"

"Doa Taya baik kok, mau punya batu banyak buat main tluk." bocah gembul itu tak mau merevisi doanya.

Hari masih panjang, Baheera harus menjelsakan kepada Taya mengenai doanya. Takut nanti minta yang aneh lagi sama Tuhan.

Nataya and DinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang